Selasa, 09 Desember 2008

Hanya Sebuah Cerita

Hai, apa kabar, mudah-mudahan kamu tidak kaget menerima suratku ini. Sebetulnya aku tidak begitu suka melakukan hal ini, aku lebih suka langsung bicara dengan kamu, tapi karena aku tahu bahwa aku selalu takut dan kalah dengan kegalakan-mu, terpaksa aku melakukannya melalui surat ini. Aku sangat berharap kamu membacanya sampai habis, ini sangat penting untuk hubungan kita selanjutnya.

Sejak kejadian itu, dulu, aku sudah dan sangat sudah memaafkan kamu, aku juga berharap kamu memaafkan ku atas kejadian itu, mudah-mudahan. Tapi ternyata memaafkan itu tidak semudah seperti saat kita mengucapkannya. Aku selalu bersumpah kepada diriku bahwa aku sudah memafkan mu, tapi kerap rasa itu, rasa sakit yang teramat sangat selalu menghampiri diriku, hampir setiap hari – walaupun tidak setiap saat.

Akhirnya, setelah ku pertimbangkan masak-masak, aku putuskan untuk mengirim surat ini, mengeluarkan semua uneg-uneg-ku, berharap menjadikan kamu tahu apa yang sesungguhnya terjadi, dan yang paling penting dari semua itu menjadikan aku benar-benar memafkan mu. Yang aku tahu, aku pahami dan aku yakini, sesungguhnya bukanlah memaafkan seseorang apabila disamping kata maaf masih ada embel-embel lain yang menyertainya. Konon katanya, ketika kita berani mengatakan maaf artinya benar-benar memaafkan, tanpa embel-embel, tanpa keberatan, tanpa tapi, tanpa hanya dan lain sebagainya.

Sejujurnya aku menganggap apa yang kamu dulu lakukan kepada ku adalah semata-mata karena niat baik kamu terhadap aku. Aku yakin itu, karena belasan tahun kita bersama menjadikan aku sedikit banyak memahami karakter mu. Tapi sayang, niat baik itu belum tentu benar apalagi kamu tidak sepenuhnya mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.

Betul bahwa aku bermasalah dengan banyak orang, untuk suatu alasan yang sampai matipun aku tidak akan pernah sampaikan kepada siapapun. Betul bahwa kala aku melakukannya aku berbohong agar aku dapat mewujudkan itu semua, tapi jelas aku akan dan harus berbohong, karena seperti yang aku sampaikan tadi alasan aku melakukan hal itu adalah alasan pribadi yang tidak dapat diganggu gugat. Betul juga sampai akhirnya aku mengganggu kenyamanan dan ketenangan mu dengan memakai departemen mu sebagai tameng atas apa yang aku lakukan. Semuanya betul, tidak perlu dimasalahkan dan aku mengakuinya bahwa itu memang betul.

Tapi entah dari mana dan siapa yang memulai, beredarlah keseluruh lantai, merambat keseluruh Indonesia (tentunya dalam lingkup kita, tidak termasuk khalayak ramai dan rakyat jelata) berita bahwa aku melakukannya karena aku menjalankan kehidupan bebas (tepatnya lagi penganut faham sex bebas) dengan bergonta ganti pasangan muda yang kinclong dan brondong, memasuki dunia gemerlap tanpa henti setiap malam (kalau ini benar, berapa botol minyak angin yang harus aku balurkan keseluruh tubuh, kamu tahu kan aku tidak kuat kena angin malam, sesekali boleh lah, itu pun kala usia masih kepala 2 dan diawal kepala 3), pengkonsumsi setia shabu dan barang-barang lain sarupaningnya serta terpaksa cuti dua minggu demi menggugurkan jabang bayi dalam perutku ini (padahal saat itu aku sedang memuja Nya, beribadah langsung ditanah suci pilihan Nya).

Dalam hitungan hari semua berubah, berbalik, berputar berlawanan arah. Apa yang telah aku bangun dengan tidak mudah, selama puluhan tahun, sesuai pesan dari sang guru dirumah untuk selalu menjaga nama baik ku, menata karir ku yang mulai terlihat moncer, menjaga persaudaraan dan persahabatan demi kemaslahatan dan kenyamanan hidup ku selanjutnya, hilang tak berbekas, lenyap terbawa angin, entah kemana.

Kebiasaan kita untuk selalu bersama selama sekian belas tahun yang telah dihafal bahkan oleh nyamuk-nyamuk didalam gedung pun, berhenti mendadak. Semua meninggalkan ku, semua mulai menghinaku, memandang rendah diriku, menertawakanku dan pada akhirnya aku kehilangan semuanya, bukan hanya orang-orang yang aku cintai tetapi semua yang aku miliki pun turut hilang......

Semua mendadak mengenalku dan saling meyakinkan bahwa apa yang aku lakukan benar terjadi, semua itu sungguh nyata tanpa bumbu apapun sehingga mereka yang masih mau mendengarkanku pun bingung, bingung akan semua itu yang sangat berkesan nyata, berkesan bahwa aku benar melakukn semua itu, mereka bingung apa sesungguhnya yang terjadi.

Ditengah hingar bingar dan gegap gempitanya aku menjadi selebriti dadakan yang lebih rendah dari kotoran anjing sekalipun (ups....maaf, tapi memang benar itu terjadi, seseorang berkata itu langsung kepadaku), dengan inisiatif sendiri, berdasarkan niat baik yang aku yakini, kamu dan kamu menghubungi para pihak yang tersebar diseantero ujung dunia untuk menanyakan apakah aku melakukan itu kepada mu, hai kawan diujung sana.

Dan seperti yang aku katakan tadi, jadilah aku mendadak kondang keseluruh empat penjuru angin. Tanpa pengadilan yang jelas, hanya ditandai dengan pertanyaan ringan yang tidak terbukti (karena aku membawa bukti bahwa itu semua sudah selesai) dan diakhiri dengan diskusi empat mata dengan sang hakim yang justru mempertanyakan pertanyaan para pejabagat teras akan kecurigaan mereka yang menengarai bahwa aku penyuka sesama jenis, akhirnya terjuntailah aku dengan keharusan tanpa alasan, meninggalkan tempat yang sangat aku cintai.

Aku tidak dapat melawan Nya, karena itu kehendak Nya. Aku pun tidak bisa menawarnya karena hidup bukanlah ajang tawar menawar. Yang aku pertanyakan kepada mu, kenapa aku diperlakukan seperti itu. Kenapa aku harus ditinggalkan. Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk menata kehidupanku dihadapan mu, kenapa akhirnya aku harus kehilangan kamu.

Aku tadi sudah mengatakan kepada mu bahwa aku memang tidak dapat menjelaskan kepada mu apa yang sesungguhnya terjadi, yang aku dapat katakan hanyalah itu semua aku lakukan sama sekali bukan untuk suatu kejahatan, bukan untuk suatu keborosan, bukan untuk suatu kegiatan konsumtif, bukan untuk menunjang gaya hidup sex bebas yang tersiar merambah kemana-mana. Apa yang aku lakukan bukanlah untuk itu semua dan kegiatan lain yang berkonotasi negatif. Aku melakukan sesuatu untuk seseorang yang.... kalau aku diberi sedikit kesempatan untuk bersombong, sesungguhnya adalah bersifat mulia.

Yang harus aku akui untuk menjunjung tinggi kejujuran yang sesungguhnya aku sukai adalah aku menggunakan jalan yang salah. Itu, aku salah.

Sampai detik ini pun aku masih selalu bersedih, bertanya kenapa hubungan yang telah kita bina selama ini lenyap begitu saja. Atau mungkin selama ini aku yang bertepuk sebelah tangan, menggunakan istilah cak dahulu, apa yang aku rasakan dan aku lakukan kepada dirimu selama ini adalah ge er sepihak (pastinya, karena kalau ge er dua pihak tentunya sudah jadian dan yang terpenting jangan sampai ge er tiga pihak, karena pasti ada salah satu yang selingkuh). Sebetulnya beberapa kali tanda-tanda itu sudah kamu sampaikan kepada aku. Beberapa kali kamu sampaikan kalimat yang sangat tidak logis disampaikan kepada ku, dan aku selalu menerimanya dengan lapang dada (atau menerimanya karena aku memang bodoh?). Aku begitu .... entahlah, apakah aku mencintaimu, menyayangimu atau apapun, yang jelas aku selalu ingin bersamamu.

Kegilaanku untuk selalu ingin bersamamu itulah yang menutup mata dan telingaku, menghiraukan semua tanda-tanda yang sesungguhnya telah kerap kau sampaikan kepada ku sehingga dengan bodohnya aku selalu mendekatimu, memujamu dan menyayangimu.

Atau mungkin juga karena kamu begitu jujur, begitu suci, begitu profesional dalam menjalankan apa yang kamu yakini, sehingga saat aku terjatuh semua itu hilang dari kamusmu, dicoret dari buku kehidupanmu dan harus diisolir bagai penderita lepra dimasa kolonial dulu.

Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak bersalah, tapi yang aku yakini bahwa aku tidak serendah seperti yang kamu bayangkan, tidak senista bak penjahat kelas kakap dan tidak sekotor pencuri kampung kambuhan.

Aku terjatuh dan aku ditinggal. Ketika aku jatuh, semuanya pergi dan dengan kekuatan Nya aku dipaksa untuk bangkit sendiri, aku sakit karena jatuhku, aku terseok-seok, aku berdarah, lukaku pun belum sembuh dan karena karunia Nya juga akhirnya aku dipaksa untuk bangkit. Saat ini aku sudah dapat berjalan, meski masih terasa sakit namun aku sudah dapat berjalan jauh.

Aku tidak berharap kamu meminta maaf kepadaku, aku tidak berharap kamu merasa bersalah atas apa yang kamu lakukan kepadaku, yang aku harapkan kamu menyadari dengan sebaik-baiknya bahwa aku bukanlah kotoran dan semoga ketika suatu saat nanti ada disekitarmu yang terjatuh, kamu tidak akan meninggalkannya, aku berharap kamu dapat membantunya bangkit untuk berjalan dengan normal kembali.

Sayang, ini hanya cerita.....

Kamis, 06 November 2008

My Fabulous Forty

Kenyataanya saat kita semua harus menulis bilangan angka empat ketika mengisi kolom umur, khususnya perempuan – karena saya perempuan – jadi saat ini yang kita bahas adalah perempuan, ada beberapa bagian dari tubuh kita yang merubah sesuai dengan ketentuan alam, beberapa diantaranya adalah:

Metabolisme, secara perlahan turun sebanyak 2% per dekade

Otot, akan turun sebanyak 2,7 kg - 3,1 kg selama 10 tahun

Tulang, menyusut sekitar 1% per tahun sejak kita berusia pertengahan tiga puluhan

Libido, menurun yang disebabkan tingginya tingkat stress dan adanya perubahan hormon

Stress, meningkat tajam karena kekhawatiran mengenai anak, orang tua, kesehatan, karir dan masalah keuangan

Depresi, lebih dimungkinkan terjadi saat ini dari pada terjadi dimasa tua.

Untuk itu, saatnya kita menetapkan langkah-langkah pencegahan yang tidak hanya dapat mencegah terjadinya perubahan-perubahan di atas secara drastis, tetapi juga dapat menjadikan tubuh kita tetap sehat, kuat dan enerjik dalam menjalani tahun-tahun yang akan datang.


1. Eat Breakfast Every Day.

Para ahli gizi menyatakan bahwa mengkonsumsi sarapan pagi setiap hari secara teratur pada waktu yang sama adalah sangat penting untuk menjaga berat badan (kalau kita anggap tubuh kita sudah ideal) dan untuk membantu proses penurunan berat badan serta membantu terjadi peningkatan metabolisme melalui pembakaran kalori. Penelitian terbaru membuktikan bahwa perempuan yang mengkonsumsi sarapan pagi dengan jumlah yang cukup banyak akan kehilangan 21% berat badannya setelah delapan bulan, apabila dibandingkan dengan perempuan yang mengkonsumsi sarapan pagi dalam jumlah kecil, yaitu hanya mampu menurunkan berat badannya sebanyak 4,5%. Alasannya adalah, asupan yang cukup banyak pada awal hari akan bekerja bersama dengan metabolisme dimana metabolisme tertinggi terjadi pada pagi hari dan selain itu asupan tersebut juga berguna sebagai bahan bakar dari aktivitas yang akan kita lakukan serta mencegah terjadinya keletihan saat gula darah turun.


2. Jump-Start Your Metabolism.

Latihan yang kuat selama enam bulan akan meningkatkan kembali tingkat metabolisme yang mulai menurun, hal ini dapat menyebabkan terjadinya pembakaran kalori dalam tubuh kita meskipun kita hanya duduk-duduk disofa setelah melakukan latihan tersebut. Bonusnya, latihan yang kuat juga dapat menguatkan tulang, menjaga keseimbangan, dan mencegah terjadinya kecelakaan - penting untuk melindungi seluruh tulang kita saat ini dan pada masa tua nanti. Biasakan untuk berolah raga minimal 30 menit setiap hari, tujuh hari seminggu dan seterusnya....


3. Boost Calcium and Vitamin D.

Keduanya, vitamin D dan kalsium, sangat penting untuk menguatkan tulang. Para ahli mengatakan sebaiknya untuk mendapatkan hasil yang optimal kita mengkonsumsi 1.000 mg kalsium dan 800 – 1.000 IU vitamin D yang dapat kita peroleh dari makanan atau asupan suplemen keduanya.


4. Practice Stress Control.

Denyut jantung yang sehat dan tenang akan bertambah cepat ketika kita menarik napas dan bertambah pelan keetika kita membuang napas. Tetapi, ternyata stress menghalangi terjadinya perubahan detak jantung yang alami, stress justru mencetuskan terjadinya perubahan pada hampir seluruh bagian tubuh secara tidak sehat, termasuk peningkatan tekanan darah, berkurangnya enerji ke otak, libido yang menurun, dan mempercepat matinya sel-sel dalam tubuh. “Dampaknya dari stress adalah dapat membuat umur kita berjalan dengan sangat cepat” demikian Claire Michaels Wheeler, MD, PhD, penulis buku 10 Simple Solution to Stress. Untuk mendapatkan irama detak jantung yang sehat, tarik napas melalui hidung selama 4 kali detak jantung dan buang napas selama 8 kali detak jantung, lakukan paling sedikit dua kali sehari atau kapapun saat kita merasa tertekan. “Hal tersebut dapat mengaktifkan syaraf vagus yang bekerja dari otak menuju panggul, membuat jantung, otot, perputaran oksigen, pembuluh darah dan saluran pencernaan menjadi lebih lancar dan relaks”, demikian kata Wheeler.


5. Pump Up Protein.

Memilih makanan yang mengandung amino acid penting untuk melengkapi kebutuhan kita akan protein, minimal dua kali dalam sehari yang dapat menaikan tingkat suasana hati melalui syaraf pemancar dari otak, dimana hal ini dapat mencegah dan menghindari gejala depresi seperti daya ingat yang menurun dan lemahnya kemampuan untuk berpikir. Usahakan untuk mengkonsumsi 115 gram protein setiap kali kita makan. Sumber protein yang baik diantaranya adalah ikan, telur dan quinoa. Namun demikian hal ini tidak berarti kita harus menghilangkan karbohidrat seluruhnya dari setiap sajian makanan kita, karena karbohidrat pun dapat menaikan suasana hati melalui peningkatan produksi serotonin di otak.


6. Be Adventurous with Your Partner.

Coba sesuatu yang baru – tidak hanya didalam kamar tidur. “Ketika kita jatuh cinta, pusat dopamine diotak memanas seperti gila, dan hal ini juga terjadi ketika kita melakukan sesuatu hal yang baru dan berpetualang”, demikian yang disampaikan oleh Laura Berman, PhD, direktur The Berman Center, klinik sex terapi di Chicago. “Aktivitas seperti berdansa, melakukan perjalanan dengan tujuan yang baru dapat menstimulasi libido kita”.


7. Go Out with Your Girlfriends.

Bersantai bersama teman-teman dapat mengurangi stress, menaikan rasa percaya diri dan juga dapat meningkatkan rasa cinta kita kepada suami saat kembali kerumah. “Perempuan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam membina hubungan sosial, namun hal itu dapat turun secara drastis diusia empatpuluhan karena kondisi dan situasi dalam pekerjaan maupun keluarga” Edward Schneider, MD mengatakan, seorang professor dari University of Sourthern California. Perempuan yang memiliki hubungan sosial yang luas dalam keluarga, pekerjaan, organisasi sosial, kelompok agama ataupun hoby terbebas dari tekanan darah tinggi, diabetes, resiko terkena penyakit jantung dan stroke apabila dibandingkan dengan perempuan yang kurang menjalin kontak sosial dengan baik.


8. Get Essential Check-Ups. Dalam rangka menjaga dan meningkatkan kesehatan, jangan mengabaikan pemeriksaan berkala atas tes-tes seperti di bawah ini:

Mata, setiap 2 – 4 tahun sekali.

Tekanan darah, setiap 2 tahun sekali.

Pap smear dan panggul, setiap 1 – 3 tahun sekali.

Thyroid, setiap 5 tahun sekali.

Tahi lalat (mole), setiap tahun.

Mammogram, setiap 1 – 2 tahun sekali.

Gula darah, setiap 3 tahun sekali sejak usia 45 tahun.

(Diterjemahkan dari Prevention website).






Selasa, 21 Oktober 2008

Tentang Bandung

Sebetulnya, kalau menurut agama ini tidak boleh, tepatnya tidak benar dan tidak baik. Maksudnya, saya tidak boleh marah-marah secara terbuka, apalagi melalui blog yang bisa dibaca oleh seluruh khalayak ramai (kalau ada yang baca...), perihal ketidak sukaan saya kepada seorang pemimpin yang sekarang sedang memimpin kota Bandung.

Maaf, dengan terpaksa saya mengeluarkan uneg-uneg padahal bulan masih bulan Syawal, artinya baru saja kita semua saling bermaaf-maafan. Harusnya, sebagai makhluk Nya yang sedang belajar untuk menjadi baik, baik dan baik terus, saya tidak mengomel dan nyerocos seperti ini, seharusnya saya lebih bersahaja dengan menyalurkan uneg-uneg ini melalui jalannya yang, konon katanya benar dan legal, yaitu melalui para wakil rakyat yang terhormat, yang saat ini biasanya sedang duduk terkantuk-kantuk, atau mata melek, melotot lebar, jari jempol tangan kanan sibuk bermain diatas tuts telepon genggang (atau lebih gaya lagi dengan menggunakan sekian jari dari kedua belah tangan karena sukses membeli telpon genggam yang mahal harganya) sementara kuping tertutup rapat oleh earphone cantik nan lembut mendayukan lagu merdu dan yang terpenting pikiran tidak diruangan karena toh topik yang dibahas tidak menarik atau lebih tepatnya lagi...”emang gue pikirin”....

Ups... sungguh... maaf lagi, saya sudah terlalu jahat menghakimi orang yang tidak salah (kata mereka) apalagi sebagai kaum terhormat dari golongan yang terpilih sudah tentu dilarang dihakimi tanpa adanya bukti, karena memang akan sulit sekali untuk membuktikan otak yang kosong....ups.... maaf...maaf...maaf... maaf.... sekaliiiii.... saya salah bicara....

Kembali kepada pokok pembahasan, ini tentang Bandung, kota dimana saya dilahirkan, dibesarkan, sekolah dan sejak tahun 1990 hanya saya tinggali pada hari Sabtu dan Minggu, kecuali hari libur tentunya. Kota yang sejak dulu sudah disebut sebagai Parijs van Java, Paris dari Jawa, nah... Paris...??? Kota terindah dan teromantis dimuka bumi menurut jajak pendapat para pembuka situs Travel & Living. Jadi, Bandung sama dengan Paris...???? hah.... cuih... ups.... maaf lagi kan... saya telah berlaku sangat tidak sopan, beraninya bercuah cuih mendengar Bandung sama dengan Paris. Tapi sebentar... sebetulnya sih kalau mau jujur memang tepatnya ya... itu tadi... cuih... ups... maaf....

Kemarin, ditengah terik matahari yang melanda kota Bandung dengan sangat panasnya (bahkan BMG pun sudah rela mengatakan “bumi makin panas”, terimakasih untuk alm. Bpk Motinggo Busye atas ungkapannya), saya melewati jalan Braga, jalan yang sesungguhnya kalau ditata dan dikelola dengan baik dapat dijadikan “the fifth avenue street from Bandung”. Jalan yang sejak jaman van vor de oorlog saja sudah jalannya para menak, para meneer en mevrouw terhormat, para priyayi ningrat yang berkenan melepaskan kepenatannya sehari-hari ditoko-toko terkenal sepanjang jalan, yang bagi saya terfavorit adalah de Snoephuis of Bogereijn of toko buku Jawa of toko Sin-Sin of Concurence yang bertaburkan emas berlian (karena itu memang toko emas).

Konon katanya, para pemuka pemimpin kota Bandung ingin mengembalikan kejayaan jalan Braga, yang salah satunya dengan mengganti jalan beraspal dengan batu paving layaknya jalan-jalan dikota tua nun jauh di Eropa sana. Dengan demikian, konon katanya lagi para pejalan kakilah yang nantinya akan menguasai jalan itu karena para oto berban empat atau dua dilarang keras melewati jalan itu. Konon katanya untuk yang kesekian kalinya, dengan memperbaiki infra struktur, ekonomi dijalan itu akan dikembalikan lagi, usaha ditingkatkan, kenyamanan diutamakan dan jadilah Braga kembali sebagai the first street di era jama baheula.

Maaf seribu maaf, saya tidak diperkenankan untuk mengatakan bodoh apa lagi goblog dan termasuk didalamnya tolol, tidak boleh! Kasar! Tidak beretika! Semua kata-kata itu harus segera dikubur dan dilupakan. Yang paling pantas hanya sekelas kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara....ya ampun, apakah pemimpin kota Bandung memang masuk dalam kategori kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara? Coba bayangkan, ditengah gembar gembor sebagian orang didunia ini meneriakan masalah global warming, ditengah perubahan cuaca yang beringsut menjadi anomali, ditengah suhu udara (dan berangsur masuk juga kedalam suhu politik...lho....) yang semakin memanas, memusingkan dan menyakitkan, para pemimpin terhormat kota Bandung pastinya sudah terpengaruh lebih dahulu, khususnya dalam hal pikir memikir. Mungkin, dugaan kuat dan dapat ditengarai, mereka itu sudah demikian lelah, capai kepanasan sehingga maksud hati menjadikan jalan Braga sebagai jalan yang dapat menyerap air hujan dikala musim hujan melalui konsep jalan bebatuan, mendadak (atau memang sudah direncanakan?) jalan dibongkar seluruh permukaan aspalnya, digali untuk diperdalam dan... maaf... gila bener.... ups, maaf lagi.... kemudian diaspal lagi.....???? Betul, diaspal lagi, ditutup pasir baru dipasang batu paving.

Betul, ini sungguh terjadi, betul memang mereka semua sudah masuk dalam kategori kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara. Bandung sudah kalah oleh Jakarta yang jauh lebih banyak jumlah pepohonannya. Bandung sudah kering, panas, berdebu, macet dan.... mulai memuakkan.... Bagaimana mungkin Bandung menjadi adem, tiis, hejo menyenangkan kalau bayang-bayang jalan Braga yang sejuk dilapisi batu paving penyerap air hujan dengan tumbuhan hijau dikiri kanannya justru diaspal dan dipaving pula.... sungguh kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara!!!!

Bandung butuh pohon, perlu dedaunan, keudah seeur nu hejo-hejo... pohooooooonnnnnn..... Ada lagi contoh kekurang pandaian, kekurang pinteran dan sangat tidak juara. Tahu jalan Riau atawa RE Martadinata? Tahu Taman Pramuka, kalau tahu pasti tahu juga pompa bensin tepat dimuka Taman Pramuka. Mendadak pompa bensin itu ditutup, dihancurkan dengan alasan.... cihuuuiiii.... akan dijadikan taman. Hebaaattt..... areal calon taman ditutup, dipagari karena akan dibangun taman indah dan hijau penuh pepohonan bakal paru-paru kota. Dan... tutup dibuka, terpampanglah taman baru yang dilapisi oleh tegel semen, kolam besar air mancur yang menyedihkan, pohon kecil, alias tanaman jenis tanaman hias yang jauh dari kemampuannya bekerja menyedot polusi udara sehari-hari. Taman tetap terik ketika siang hari mengingat tanaman hias hanya setinggi setengah meter. Tambah terik mengingat taman tertutup oleh tegel semen anti serapan air.

Sungguh kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara mereka semua itu. Betulkah... mereka yang kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara....??? sungguh...???? Dengan terpaksa dan berat hati saya katakan bahwa sesungguhnya masyarakat kota Bandunglah yang kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara. Masyarakat kota Bandunglah yang telah membuat kesalahan fatal, salah besar dan sulit untuk dimaafkan karena.... dengan sadar, jujur, bebas dan rahasia telah memilih orang yang sama, orang yang telah melakukan kesalahan atas kota Bandung selama lima tahun yang lalu, orang yang telah menjadikan kota Bandung centang perentang, berantakan, hiruk pikuk tak terarah, lingkungan rusak dengan segala dalih kemajuan yang menjijikan, masyarakat kota Bandunglah yang kurang pandai, kurang pinter dan tidak juara karena telah memilih orang yang sama untuk kembali memimpin kota Bandung.

Bandung...hik... riwayatmu dulu...hik.... heurin ku tangtung....hik.... kapan orang Bandung menjadi cukup pandai, cukup pintar dan cukup menjadi juara kedua ya......

Kamis, 04 September 2008

Menulis dan Membaca

Sekali-kali bicara masalah pekerjaan, tidak keberatan kan. Ini tidak melanggar kesepakatan antar suami isteri yang diantaranya dilarang membawa masalah pekerjaan kedalam rumah. Karena ini bukan rumah, ini tulisan, jadi boleh dong....

Sebagai financial dan management consultant (untuk menghormati jalur ketak berpihakan, saya tidak mencantumkan nama perusahaan tempat saya bekerja, takut client bertambah, gak enak dong), saya sangat bersyukur bahwa otak saya yang berkelas standar ini dipaksa dan terpaksa untuk selalu berpikir, mengurai permasalahan dari para client yang sudah tentu keseluruhannya bermasalah, baik masalah ringan maupun masalah super berat yang melibatkan perasaan dendam kesumat antar pemilik dan menyebabkan terjadinya kondisi terjun bebas atas omzet penjualan dari perusahaan yang selayaknya moncer membumbung tinggi ke atas.

Ternyata, berbekal pengalaman empat tahun sebagai konsultan (tapi empat belas tahun sebelumnya memicu karir diindustri perbankan lho), saya dapat mengambil kesimpulan bahwa seluruh permasalahan yang terjadi diberbagai industri baik jasa maupun non jasa kesemuanya bermuara pada kemapuan sumber daya manusia. Artinya, apakah yang disodorkan oleh client saya itu langsung masalah keuangan apalagi permasalahan yang diajukannya adalah masalah manajemen, pasti ujung-ujungnya adalah masalah sumber daya manusia.

Yang paling sederhana, client saya terdiri dari berbagai industri baik kelas menengah maupun kelas kakap. Jangan pernah berpikir bahwa client besar, ternama, sering masuk media untuk iklannya yang membabi buta, termasuk dengan iklan yang mencantumkan tingkat keuntungan yang setiap tahun selalu membumbung itu tidak memiliki masalah dalam sumber daya manusia. Hampir semua proposal yang masuk dimeja saya, dari sisi penulisan, penggunaan dan penempatan kata serta kalimat dan sistematis pemaparannya, dengan sangat menyesal dan mencengangkan dapat saya kategorikan dalam golongan “cukup menyedihkan”. Tidak jelek memang, tapi harapan saya terhadap nama perusahaan yang sudah terlanjur besar dan kondang itu berbanding terbalik dengan proposal yang mereka susun.

Menulis adalah salah satu hal yang termasuk dalam kategori kemampuan “tidak penting” bagi hampir semua perusahaan yang menjadi client saya. Secara langsung tanpa basa-basi saya sampaikan pendapat saya bahwa itu adalah hal yang tidak benar. Kemampuan menulis hampir dapat dipastikan berbanding lurus dengan kemampuan membaca. Hampir selalu mereka yang memiliki kemampuan menulis dibarengi dengan kemampuan membaca. Kemampuan membaca mereka sudah masuk dalam kategori gemar membaca dimana mereka yang memiliki kegemaran ini kerap kali lebih terbuka pola pikirnya, lebih banyak memiliki bekal pengetahuannya, lebih mudah dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya (baik dalam lingkup pekerjaan maupun lingkup kehidupan pribadi) dan lebih mudah menerima perbedaan.

Berbekal itu semua, dapat kita bayangkan bahwa suatu perusahaan melaju dengan kecepatan tinggi bermodalkan para karyawan yang memiliki kemampuan menulis dan kemampuan membaca (baca: gemar membaca) diatas rata-rata standar karyawan di Indonesia. Kecepatan tinggi yang dipacu oleh perusahaan tersebut tentunya terjadi karena mesin utama perusahaan (karyawan) adalah mereka yang tidak melulu memiliki intelegensi tinggi, tapi mereka juga dapat bekerja sama dengan baik, open minded, dan yang terpenting memiliki kemampuan membaca dan menelusuri serta menyelesaikan suatu masalah dengan baik juga.

Apa yang saya temui dilapangan kerap adalah hal yang sangat sederhana. Seorang manager muda bagian produksi, bertitel S 2 dari hasil jerih payahnya diuniversitas negeri ternama, lulus dengan nilai A, mengikuti program management trainee sebagai lulusan nomor satu, langsung ditempatkan sebagai manager produksi. Apa yang terjadi, sang manager lebih senang berkutat dengan teori yang dia peroleh selama masa pendidikannya, baik pendidikan formal maupun pendidikan yang baru dijalaninya diperusahaan tersebut. Permasalahan yang dihadapi tidak dapat dituangkan dengan tepat dan terperinci dalam laporan harian, sehingga apa yang terjadi tidak dapat terdeteksi oleh sang penyelia. Kemampuan membacanya tidak dipergunakan dengan optimal, dimana sesungguhnya melalui majalah perusahaan, banyak hal yang dapat diambil guna mempermudah dan membantu menjalankan pekerjaannya sebagai seorang manager. Wal hasil, timbullah permasalahan, dan akhirnya perusahaan tersebut menjadi client saya.

Yang terlihat disini adalah kesalahan penempatan sumberdaya manusia yang dilakukan oleh manajemen, kesalahan dalam memprioritaskan kemampuan dimana hampir semua perusahaan lebih menitik beratkan kepada kemapuan IQ yang sebaliknya justru menurut saya dalam melakukan pekerjaan tidak hanya kemampuan otak yang dipergunakan, justru pengembangan kemampuan lainnya yaitu antara lain menulis dan membaca-lah yang dapat lebih mengoptimalkan proses pekerjaan berjalan dengan baik dan benar.

Contoh di atas adalah salah satu contoh sederhana. Namun serumit apapun permasalahan yang terjadi dalam suatu perusahaan, hampir selalu berpangkal pada sumberdaya manusia.

Oleh karena itu, bagi siapapun yang membaca tulisan ini (kalau ada), baik setingkat manajemen atas, manajemen tengah maupun manajemen bawah, termasuk didalamnya adalah para direksi maupun para chief officer, hendaknya memprioritaskan kemampuan menulis dan kemampuan membaca bagi seluruh karyawannya, termasuk didalamnya adalah yang bersangkutan sendiri. Dorong mereka melalui cara apapun untuk mau menulis dengan baik dan benar serta mau membaca apapun guna membantu menjalankan pekerjaannya masing-masing. Suka tidak suka memang terbukti bahwa tingkat kemampuan menulis dan kegemaran dalam membaca pada negara industri maju jauh lebih tinggi dari tingkat kemampuan menulis dan kegemaran dalam memaca pada negara berkembang.

Ayolah, menulis itu tidak susah, membaca itu gampang, yang penting ada kemauan untuk memulainya dan menjalankannya terus menerus. Ayo menulis.... Ayo membaca....


Rabu, 06 Agustus 2008

ET + UFO = EVD

Erick Von Daniken... pernah dengar nama itu? Saya adalah salah satu penggila karya-karyanya sejak masih duduk disekolah menengah pertama, jadi kurang lebih sejak tahun 70an akhir. Mengasyikkan memang kalau sudah membaca buku-bukunya. Itulah sebab kenapa kaca mata pertama saya langsung berukuran minus satu setengah, karena kebiasan buruk yang masih terpelihara dengan baik sampai dengan sekarang yaitu selalu membaca sambil tiduran, berjam-jam sampai rasanya mata mau melompat kalau belum sampai pada titik yang terakhir.

Erick Von Daniken, rasanya dulu sih agak ngganteng kalau melihat foto dirinya dihalaman belakang setiap karya pak Erick itu. Tapi, belakangan, kira-kira dua bulan yang lalu, saya kembali melihatnya tidak dalam gambar mati tetapi dalam gambar hidup di National Geographic Channel, sang Erick kok sudah tua, lemu berjenggot berewok pula. Ah...rupanya gelindingan waktu ternyata mempengaruhi bentuk tubuhnya, terutama gravitasi bumi.....

Erick Von Daniken...maaf ya, saya terlalu banyak memberikan ilustrasi tentang pak Erick ini, saya sudah bilang kan, membaca karyanya saja sudah mengasyikkan, pasti membicarakan orangnya juga sama mengasyikkannya.

Ya...ya...ya..., kembali kepada pokok pembahasan, Erick Von Daniken itu adalah seorang pengarang, peneliti, sejarahwan dan penggiat yang berasal dari Eropa (Swedia atau Denmark ya, saya lupa), yang mengkhususkan diri dalam pembuktian akan adanya makhluk lain diluar sana selain kita yang sudah lawas menempati bumi biru ini.

Erick Von Daniken = Extra Teresterial + Unidentified Flying Object, atau, EVD = ET + UFO (sok ilmiah ya, sok matematikus sekali). Ya, siapaun yang tertarik pada dunia ini pastilah tidak lengkap dan kurang soheh kalau belum membaca karya-karyanya.

Saya sendiri adalah penggila tentang masalah ini, walaupun tidak segila orang-orang Eropa dan Amerika Serikat yang rela mengeluarkan uang pribadi untuk mengejar kebenaran ini dengan menjelajah seputar bumi bundar bulat biru atau mengirim sinyal-sinyal suara yang diharapkan suatu saat nanti akan mendapatkan balasan dengan sapaan: “HALLO JUGA”. Saya masih kelas yang sedang-sedang saja, hanya rela mengeluarkan uang untuk membeli buku-buku terkait dan rela berlama-lama didepan komputer untuk menjelajahi dunia maya, membaca artikel-artikel terbaru, jurnal terkini demi...sekedarkan memenuhi keingintahuan saya yang belum terpuaskan sampai saat ini. The True is Out There... katanya mah begitu...

Sedihnya, ternyata saya masih belum menemukan teman sejenis maupun teman lawan jenis yang juga penyuka perihal sejenis ini. Untuk masalah ini saya betul-betul merasa kesepian, tidak ada tempat berbicara, tidak ada tempat mengadu dan tidak ada tempat berdiskusi, sepi deh... atau mungkin saya yang kurang bergaul barangkali, sehingga tidak mengetahui bahwa diluar sana ternyata banyak orang sejenis maunpun orang dari lawan jenis penyuka perihal sejenis ini.

Erick Von Daniken, dalam salah satu bukunya memaparkan tentang penemuan bukti-bukti di Amerika Latin, yaitu bentukan-bentukan yang dibangun kurang lebih 4000 – 3000 tahun sebelum masehi dan salah satunya diyakininya sebagai landasan pesawat terbang dari luar sana. Melihat foto yang luar biasa itu, saya pun berpikir, bagaimana mungkin, dijaman yang masih sangat rekiplik alias kuno tak berkemajuan bisa dibangun sebuah landasan, yang begitu panjang dan begitu luas dengan tingkat presisi yang mendekati sempurna dan hanya dapat dilihat dari ketinggian di atas sana. Bagaimana mungkin ini bisa tercipta kalau tidak dibantu oleh suatu tingkat intelegensi yang sangat tinggi untuk menjadikan landasan itu selesai dengan baik. Tidak hanya itu saja, bagaimana mungkin lagi, sebuah bentukan tergambar dengan jelas dan rapi, juga dengan tingkat presisi yang sangat tinggi, terbentang pada sebuah lereng batu cadas yang sangat besar dan luas, kalau tidak dibantu dengan sesuatu yang memiliki tingkat intelegensi yang amat tinggi.

Belum selesai, disuatu candi milik bangsa Maya di Mexico, tergambar dengan jelas apa yang mereka yakini sebagai nenek moyang mereka, sesosok makhluk yang lengkap dengan helm luar angkasa dalam sebuah pesawat yang menyemburkan api besar dari bawah pesawat tersebut (coba tolong buka foto peluncuran Apolo, Sputnik atau Discovery yang terakhir ini, untuk membantu para pembaca (kalau ada yang baca) mewujudkan deskripsi saya di atas).

Dan masih banyak lagi...masih banyak lagi...masih banyak lagi bukti-bukti yang tidak dan belum terpecahkan sampai dengan saat ini, tapi sangat mendukung keberadaan dan kebenaran adanya mahkluk lain diluar sana....

Menurut penelitian, galaksi kita – The Milky Way alias Bima Sakti, terdiri dari milyaran bintang dan sejumlah buanyak benda langit lainnya, yang ternyata tidak berdiri sendiri. Karena, berdasarkan paparan para ahli yang pastinya soheh tidak suka berbohong apalagi mengada-ngada, sang Bima Sakti ini memiliki teman sejenis, yaitu galaksi lain yang jumlahnya bermilyar-milyar diseluruh alam semesta. Untuk mudahnya saya bantu menjadi bermilyar-milyar dikali bermilyar-milyar sama dengan ...

Maha Besar Tuhan, bayangkan, dengan keesaan Nya, dengan kekuasaan Nya, dengan kemahaan Nya, mungkin hanya dengan hitungan kecepatan jentikan dua jari tangan kita, terciptalah alam semesta ini yang tak bertepi, Maha Besar Tuhan.

Nyuwun pangapuro, hapunteun, maaf ya Tuhan, sesuai dengan titah Mu juga untuk menggunakan akal sehat demi mempelajari apa yang ada disekitar kita dengan tetap berpegang kepada Kitab Suci Mu Yang Maha Lengkap, saya mencoba untuk berpikir dengan jernih, sadar, tertib dan bersih tanpa adanya campur tangan dari manapun dan tidak dalam tekanan dari siapapun, apakah kita memang hanya sendiri?

Kata guru agama saya, karena saya bukan lulusan sekolah agama dan juga karena saya belum khatam memahami isi Kitab Suci Mu, tidak satupun surat maupun ayat yang menceritakan kehidupan mahkluk lain selain kita, manusia dan semua jenis lainnya yang ada diplanet biru ini.

Nyuwun pangapuro, hapunteun, maaf ya Tuhan... jadi untuk apa Kau ciptakan jagad alam sak besar ini? Maaf lagi, hapunteun, nyuwun pangapuro nggih Sing Bahurekso Gusti Allah Pangeran, mohon izin untuk dapat mengutarakan uneg-uneg dikepala saya yang belum pernah saya lontarkan dalam bentuk tulisan sebelumnya.

Ternyata saya adalah salah satu dari makhluk hidup berkaki dua golongan ras manusia yang meyakini (hapunteun pisan Pangeran upami lepat, maaf sekali ya Tuhan kalau salah, nyuwun pangapuro Gusti Allah Pangeran mergo kalepatan dalem) bahwa pasti ada mahluk lain diluar sana.

Logikanya yaitu, Tuhan itu adalah sang empunya ke Maha-an, Dia mampu menciptakan apapun, Dia mampu menjadikan apapun, Dia bisa berkehendak apapun tanpa perlu izin dari siapapun dengan tujuan yang tidak perlu diketahui oleh siapa juga. Ke Maha-an Nya telah menciptakan alam semesta tak bertepi dengan segala isinya termasuk produk-produk mainan kecintaan Nya yang dapat berupa binatang, manusia, tumbuhan, virus, bakteri dan lain sebagainya yang tidak kita ketahui untuk ditempatkan dilokasi mana saja, karena penempatan maninan kecintaan Nya pastilah sesuka Nya selayak dengan ke-Mahaan-Nya....

Sangat masuk akal (bagi saya) semua itu. Sederhana dan menyenangkan pula melihat kebesaran Nya. Permasalahannya adalah, ayolah Tuhan, izinkan kami para manusia berakal ini untuk dapat bertemu, minimal berkomunikasi dengan ciptaan Mu yang lain diluar sana. Izinkan saya terpuaskan dari rasa ingin tahu yang tidak pernah lekang dimakan waktu, mendapatkan pembuktian, mendapatkan kejelasan, mendapatkan kebenaran dari semua isi buku-buku yang telah saya baca dan kini menetap resmi menjejali penuh sebagian otak saya yang hanya memiliki berat tidak lebih dari tiga ons ini.

Izinkanlah ya Tuhanku, komunikasi kami terjawab dengan jelas oleh ET + UFO yang diperkenalkan oleh EVD kepada kami, manusia biasa, rakyat yang tidak jelata ini. Terimakasih Tuhan...










Selasa, 22 Juli 2008

MARI BERDEMO ?

Sejatinya setiap mereka yang bersalah pasti mendapat hukuman. Sejatinya setiap mereka yang bersalah pasti sadar atas hukuman yang akan diterimanya. Begitu juga sebaliknya. Sejatinya setiap penegak hukum harus menghukum mereka yang bersalah. Sejatinya para penegak hukum pasti tahu hukuman yang tepat bagi mereka yang bersalah. Tetapi kenapa justru akhir-akhir ini kesejatian tersebut sering lenyap entah kemana, dibawa siapa, hilang dimana, tidak ada yang tahu.

Maaf, Pak ganteng berkumis lebat saat ini sedang tidak dapat diganggu. Beliau sedang khusuk memanjatkan doa untuk berterima kasih kepada Yang Maha Rahim karena permohonannya dikabulkan. Permohonan apa? Lho, mosok sampeyan tidak tahu, beliau dinyatakan bebas murni atas seluruh tuduhan dan tuntutan yang dilontarkan oleh Jaksa kepadanya. Hah, bebas? Lho kok...?!?! Rasanya Pak ganteng berkumis lebat beberapa bulan yang lalu masih menyuruh kepada saya untuk mulai belajar menerima semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Saat itu semua data yang telah saya siapkan dan kemudian disita oleh polisi jelas menunjukkan kesalahan yang telah dilakukan oleh Pak ganteng berkumis lebat. Saya ingat sekali bahkan Pak ganteng berkumis lebat menyebutkan kutipan ayat-ayat suci yang berisi tentang kesalahan dan hukuman. Beliau nampak pasrah dan tegar. Lho kok...?!?!

Itu dulu, maklum kepepet, bukti nyata ada ditangan. Bicara pepet kepepet, hanya ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh sang kepepet, pasrah mengaku bersalah atau ngotot sengotot ngototnya tetap tidak bersalah. Pak ganteng berkumis lebat saat itu pasti kepepet dengan pilihan pertama, bahkan langsung mencuat ide orisinil dikepalanya untuk sesegera mungkin menjadi juru dakwah, mengabarkan kebenaran semata kepada khalayak ramai. Tapi itu dulu Pak.

Sekarang lain punya cerita. Kesempatan ada didepan mata, mumpung masih ada "sedikit" tabungan yang tidak terlaporkan, mumpung para hakim kurus, loyo dan nampak kurang terurus, mumpung ada kasus yang lebih besar, lebih seru dan lebih spektakuler baru saja terkuak dan yang paling penting lagi, mumpung semua pihak menjunjung tinggi azas silaturahmi dan saling memaafkan, mari kita gunakan kesempatan emas yang saling menguntungkan ini untuk bersilaturahmi yang pada akhirnya bermaaf-maafan berujung kebebasan. Semua senang, semua untung, semua nyaman.

Tunggu, cerita belum selesai sampai disini yang terhormat Pak ganteng berkumis lebat. Diluar sana ternyata masih banyak para penonton, para pembaca dan para pendengar yang tidak senang, tidak untung dan tidak nyaman atas lakon komedi konyol berjudul silaturahmi bermaaf-maafan dengan pemeran utama Pak ganteng berkumis lebat serta para hakim kurus, loyo yang memang nampak tidak mau mengurus badannya sendiri.

Sepanjang para penonton, para pembaca dan para pendengar setuju bahwa lakon komedi konyol tersebut adalah sesuatu yang gila dan kelewat batas, minimal ada sekelompok hati nurani yang masih dapat dipakai dengan baik dan benar serta tahu bahwa lakon komedi konyol tadi adalah suatu kesalahan besar. Minimal ada kebenaran tersimpan dalam nurani mereka masing-masing. Minimal.

Tetapi, nurani saja sangat tidak cukup. Nurani hanyalah sosok dewi keadilan yang tidak dapat berbuat apa-apa. Maklum sang dewi, protokoler menyatakan bahwa dia hanya diperbolehkan bersabda tanpa bertindak. Itu sebab nurani harus disandingkan dengan keberanian. Hasilnya, akan lahir sosok tindakan yang akan maju menggagalkan lakon komedi konyol berjudul silaturahmi bermaaf-maafan dengan pemeran utama Pak ganteng berkumis lebat.

Tindakan harus mulai direncanakan, kekuatan harus mulai disusun. Ingat, pepatah dulu mengatakan bersatu kita teguh becerai kita runtuh. Tapi masalah besar kini muncul. Para penonton, para pembaca dan para pendengar semua ternyata hanyalah khalayak ramai dan rakyat jelata semata. Tindakan hebat yang paling heroik dan dapat dicatat dalam sejarah hanya sebatas pada aksi demonstrasi, teriakan yel-yel protes dengan keras dan tegas, berjalan bergerombol beriring-iringan dan yang paling top, bakar ban bekas atau pada akhirnya berujung anarkis, brutal, mengerikan....

Maaf saudara, itu tidak salah (kecuali tindakan anarkis, tentunya) tapi sayang masih belum merata apalagi adil. Jangan biarkan selalu hanya khalayak ramai dan rakyat jelata saja yang bertindak dan merasa bertanggungjawab untuk menolak lakon komedi konyol yang menjijikkan itu. Sudah saatnya para pemimpin, para petinggi, para handai taulan yang terhormat dan semua kaum yang merasa jengah untuk disebut rakyat jelata ikut bertindak.

Tapi apa iya kita juga mau ikut bertindak? Bertindak? Ikut demonstrasi begitu? Berpanas-panasan sambil teriak-teriak, berjejal-jejalan dan pada akhirnya bertatapan mata dengan bapak pulisi yang marah mengejar kita sambil menghunuskan pentungannya, terkena semprotan air yang sangat kuat atau mata meleleh akibat bom air mata, seperti itu?

Aaaaaaahhhhhhhhh............yang benar, mosok saya harus ikut gehgeran seperti itu, maaf, saya hanya pegawai biasa lho (hah..? pegawai biasa, setiap hari pakai jas Ermenegildo Zegna atau sepatu hak tingi dari Bally dengan Kelly bag merek Loewe? Itu pegawai biasa?????.......), betul hanya pegawai biasa yang masih sangat memerlukan kepastian gaji atau kemulusan jalannya usaha pribadi demi menunjang kelangsungan kehidupan kami sekeluarga. Lah kalau saya ikut keramaian dan keriaan seperti di atas, itu namanya korupsi waktu, ndak baik itu untuk konduite dimata direktur, juga tidak enak dilihat mitra kerja, jangan ah, saya hanya pegawai biasa yang harus memberi contoh dan (justru ini yang terpenting) kesan yang baik dimata sang bos tercinta (cukup kesan, tidak perlu lebih, pernak-pernik didalam biar hanya saya yang tahu, maaf...).

Biarlah mereka, maaf, rakyat jelata saja yang gehgeran, berkeriaan, berkeramaian, toh mereka memang memiliki banyak waktu senggang dan juga mendapat jasa prestasi sebesar lima puluh ribu rupiah perorang per hari (lho kok lebih kecil dari biaya makan siang saya sehari ya?). Cukup toh, merekapun senang kok, masuk telepisi....

Maaf lho, bagi para penonton, para pembaca dan para pendengar yang merasa tersinggung dan tidak merasa berkelakuan dan berkepribadian seperti pak-nya dan bu-nya di atas yang hanya pegawai biasa, maaf lho dengan tulisan ini. Tapi, kalau boleh kita jujur, sekaliiiii...... ini saja, nek dipikir-pikir, coba buka mata lebar-lebar, lihat dengan titi teliti semua media cetak dan media televisi, tepat disaat berita disiarkan (ingat, berita! Bukan sinetron! Jangan salah!), ketika semua media-media itu menampilan gambar perihal demontrasi A, atau B maupun Z, kok ya, maaf sekali lagi, lebih banyak rakyat jelata, agak sedikit kumuh dan kurang sedep dipandang yang ikut kegiatan keriaan dan keramaian tersebut, betul lho.

Ada saluran televisi berlangganan dirumah? Coba putar BBC, CAN, CNBC, CNN, Al Jazeera, mari kita lihat bersama tayangan demonstrasi di Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Vietnam dan sarupaning negara asia lainnya, bahkan di Pakistan yang tengah penuh dengan huru hara, dengan alasan apapun, kok ya rapi, pakaian bersih, tertib meski tetap penuh dengan teriakan dan maaf (lagi-lagi maaf) nampak lebih student alias lebih berpendidikan.

Apa yang salah? Siapa yang salah? Hah....???? Breaking news: sesuai dengan pantauan dan hasil pengamatan sebuah lembaga independen tentang “perilaku reaksi masyarakat menengah atas terhadap kebijakan pemerintahnya dibeberapa negara di Asia”, yang berkedudukan di India, ternyata kelas menengah atas di Indonesialah yang paling tidak memiliki keinginan untuk terjun langsung bereaksi atas kebijakan pemerintahnya meski dinilai merugikan rakyat secara umum.

Luar biasa.... akhirnya saya kembali ingat dengan sebuah iklan furniture yang dulu diperankan oleh almarhum S. Bagyo: “sudah duduk lupa berdiri....” maklum kursi empuk....

(alinea terakhir khusus untuk pengakuan dosa: apa saya berani ikut demonstrasi didepan DPR, depan Istana, atau dimanapun? Apa saya berani ya.....???? hiiii.......!!!!!)

Selasa, 10 Juni 2008

Surat Seorang Tante Untuk Keponakannya

Hai Jibongki,

Waduh, gara-gara masalah IPeh jadi kepikiran nih. Ah mosok sih, yang namanya Jibongki pake acara stress.... ndak mungkin... ndak mungkin itu, ma'sudnya ndak mungkin dan ndak boleh... jangan dhong, mosok umur baru 19 tahun udah ikut-ikutan stress, kayak para pengiring dalam lingkungan Ring 1 aja yang stress mikirin BBM naik.

Jibongki, sumpiah kecil-kecil kalau gede lumpiah, hidup ini gak gampang. Daku gak maksud nakut-nakutin kamu, tapi daku malah mau membuka cakrawala dikau sehingga bisa lebih realized to the actually of life, sadar bahwa hidup ini (apalagi jaman sekarang) keras dan perlu orang-orang kuat (not only physically but also mentally), tangguh dan cerdik (bukan melulu pandai!) tapi penuh dengan rendah hati, toleransi dan mengerti etika serta cinta damai.

Gak gampang Jibongki, bitul itu, kalau gampang mah kagak rame atuh, kebayang dong sepanjang jalan kita ketemu orang saling manggut-manggut, senyum simpul, ramah temeh, saling cium, berpelukan... wah gak rame deh. Jostro Tuhan menciptakan kita dalam bentuk kertas kosong, waktu kecil yang mengisi dan menulis kertas itu adalah orang tua dan keluarga, nah sudah besar porsinya dirubah, kamu 70% yang menulis kertas kosongmu untuk menjadi dirimu sendiri, dan ortu serta keluarga cuma dapat porsi 30% untuk membantu menjadikan dirimu seutuhnya, noh kayak yang dialenia atas, itu emang udah aturannya, hukum alamnya begituh. Belum tentu berhasil pula, kalau berhasil semua, kasian dong sang Mikail penjaga neraka, kagak ada gawenya.

No body perfect, that is rule number one! Tapi juga bukan berarti karena kage ade nyang sempurne, kita bisa letoy-letoy aje sekedar jadi “yang sedang-sedang saja...”. Wah itu mah gak seru, itu kelasnya nanti yang turun naik bis, gendong anak disisi kiri dan sisi kanan nggandeng anak yang satu lagi, mana umbelan, nangis pengen masuk Mc D, tapi ortu gak punya uang, jadi cuma bisa nonton doang sambil ileran.

You have to fight, that is rule number two! Kamu masih muda, jangan biarkan diri kamu terkurung dalam kata-kata kamu sendiri, “aku stress nih”. Bisa jadi itu memang terjadi dalam diri kamu, bisa jadi hanya ketakutan sesaat. Tapi percayalah, akan menjadi apa diri kita adalah perwujudan dari apa yang kita gambarkan, apa yang kita inginkan, apa yang kita pikirkan atas diri kita sendiri. Kamu gagal, tiga semester IP gak bagus terus, ok, sedih dong (plus malu juga kaleee... tambah sebel lagi), tapi kalau kamu selalu bilang “aku stress, aku stress, aku stress, jangan ingetin aku tentang itu, jangan ungkit-ungkit lagi de es be, de es be, de es be”, yang terjadi kamu akan stress beneran, yang sebetulnya kamu perlu konsentrasi untuk semester ini, akhirnya tanpa kamu sadari, deep in your heart, kamu emang bener stress, daya tahan fisik menurun (korelasinya sangat tinggi antara daya tahan tubuh dengan mental) dan sakit lah dikau. Emang sih, anak muda juga manus, tapi gak seru ah kalau dikit-dikit baca dipapan informasi berita RT, kamu sakit mulu.

Coba kamu balik sekarang, walupun mulanya takut, gak berani, deg-deg plas dan lain sebagainya, coba tantang rasa stress itu. Caranya, indoktrinasi diri kamu dengan bilang “IPeh jelek, emang gue mati, kagak coy, IPeh sekarang boleh jelek tapi besok gue jadi jawara IT!”, terus-terus dan terus, kalau rasa itu lagi datang, sedih, kecewa, kesel de es be, cepet indoktrinasi diri sendiri. Ini namanya self healing. Mengobati rasa sakit (mental maupun fisik) oleh diri sendiri. Penemu dan pelopornya adalah DR. Jill dari Brain Clinic Silicon Valley, USA. Dia meneliti ini selama 35 tahun, jadi gak main-main.

Dan ini sudah daku lakukan, kamu tahu dong, daku juga kan lagi dapet seabreg masalah, setiap rasa itu lagi datang, apa deg-degan, takut liat kenyataan, malu dan banyak lagi, daku langsung lakukan self healing, mengindoktrinasi dengan kata-kata ku sendiri, yang otomatis (sumpiah nih) rasa berani itu datang, hati jadi tenang dan kembali normal lagi.

Ternyata eh ternyata, Islam sudah mengajarkan itu semua sejak 1400 tahun yang lalu, itu yang namanya TASAUF, melalui ibadah-ibadah yang kita lakukan, shalat tepat waktu, puasa sunah, dan please, lakukan ini: BACA Al QURAN SETIAP HARI, even hanya satu ayat (tapi kebangetan juga sih, satu ain kan bisa) beserta terjemahannya, percayalah, rasa-rasa itu, walaupun masih suka datang, tapi akan dengan cepat pergi dari diri kita. Itu diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita, untuk menikmati MUKZIZAT Al QURAN dengan membacanya setiap hari, dan itu masuknya dalam self healing. Kudu setiap hari! Jangan tunggu nanti, rugi! Kita kan pengen cepet-cepet nikmatin mukzizat Al Quran.

Jangan pernah berharap kamu sukses, kamu kuat, kamu sehat, kamu berhasil tanpa melakukan usaha-usaha besar. Usaha kecil, hasilnya kecil, usaha besar, ya hasilnya juga besar. Itu janjinya Tuhan loh, bukan daku.

Jibongki, rasa malas itu, rasa takut itu, rasa marah itu yang semuanya sama dengan stress, ternyata adalah setan. This is true! Daku baru tahu sekarang-sekarang ini, sejak berobat dengan Kiyai, gurunya Eyang. Itu Kiyai (namanya Bpk. Muchtar Adam, pemimpin pesantren Babussalam di Bandung,) bukan asal Kiyai, dia jawara dalam hal masalah self healing (TASAUF), sakit fisik, sakit mental, baik karena diri sendiri maupun karena faktor “x”, dia jawaranya. Pak Muchtar Adam itu belajarnya ke Iran, ke Irak, ke Arab Saudi udah bolak balik kayak Bandung – Cirebon, Bandung – Semarang, Bandung – Jakarta, pokoknya bak bis antar kota antar provinsi deh.

Salah satu syarat daku untuk sembuh adalah membaca Al Quran, Tahajud, Puasa Senin – Kamis, gak boleh putus. Lha, kita juga pan manus, jam 3.30 pagi kudu bangun, yah... pigimana gituh..., terus diajarin ama oom Kiyai itu, kalau rasa malas itu datang, langsung aja bilang “setan loe, jangan ganggu, pergi sana, dasar jin iblis terkutuk...” pokoknya hina dina dia sekasar-kasarnya dan serendah-rendahnya, karena dia memang lebih rendah dari kita, bersuara ya, jangan dalam hati, tapi jangan juga didepan orang, ntar disangka “embetje eng” dong, dan.... sumpiah kecil-kecil kalau besar lumpiah, rasa itu hilang, kalau males, jadi hilang malesnya, kalau lagi takut, jadi hilang takutnya, kalau lagi sedih, jadi hilang sedihnya, kalau lagi deg-degan ya jadi tenang hatinya. Coba deh.

Tapi semua itu Bong, harus dari kamu, daku sih cuma bisa ngomong doang ampe berbusa. Nulis email ampe ini mata juling, tapi kalau kamunya mandeg, gak mau berusaha, ya... gitu deh...

ABOUT YOUR SELF, IT DEPEND ON YOU, ABSOLUTELY. We, the others could only support you not change you!

Tambahan lagi nih Jibongki, biar sekalian panjang deh, juling-juling deh dikau, yang penting, kamu berusaha, tapi berusaha dengan benar dan baik, nah yang tahu ya cuma kamu, jujur pada diri sendiri. Udah belajar setiap hari, even only two hours? Udah ngobrol ama sang dosen ndableg (ups sorry...) apa mau loe sih, lha kagak nanya ya kagak bakal tahu atuh rahasia jimat adikuasanya. Udah minta tolong Tuhan?, dengan shalat wajib tepat waktu (ya kalau lagi kuliah mah kagak usah maksa-maksa amat), tahajud (gak bisa tiap malam, ya tiap malam Jumat aja dah), udah baca Al Quran tiap hari? mosok SMP, SMA di sekolah Islam kagak ada bekasnya, malu ah, daku aja masih hafal Salam Maria dan Bapak Kami, hayooo.... padahal already 24 years ago....

Nah, kalau kamu udah lakukan semua itu, tambah lagi self healing tapi masih tidak sesuai dengan yang kamu inginkan, artinya Tuhan punya RKA (Rencana Keselamatan Allah SWT), dan hanya dia yang tahu apa itu. Pan kamu lebih tahu dari daku, apa yang menurut kita baik, belum tentu baik menurut Nya, ya toch broer...

Lagian, IT itu adalah ilmu paling moncer, ilmu segala jaman, ilmu sampai dunia tutup. You know dong brother, mas Bill Gates itu kan gak lulus S1, mosok gak tahu sih. Bayangin, kagak lulus aja bisa jadi orang terkaya didunia sampai dengan tahun 2007 dengan total kekayaan USD 54 miliar, buju buneng...

Shebab Zirowsky, anak umur 21 tahun, orang Rusia, pertahun 2006 dia masuk sebagai salah satu orang terkaya didunia urutan yang udah mau habis (498 atau 495, lupa, versi Forbes 500). Belum lulus S1, tapi dia sudah bisa bikin program yang laku di Rusia, total kekayaannya USD 2 milyar, biji bineng....

IT itu is about innovation, is about creative, is about dreaming, is about net work, is about hard working..... yang semuanya itu bisa kamu dapetin dengan.... hayo apa.... hayo coba pikir.... gak tahu?, nih.... dengan MEMBACA, baca broer... baca.... Sampe bongkotan kalau gak suka baca, ya idenya sak batas Rawabelong aja, Itu para jawara IT, baik yang gak lulus S1 atau yang cuma di S1 aja, coba datang kerumahnya, bukunya buset.... seabreg.... gak suka lewat buku, no problemos, browsing di internet. daku juga lagi cekak, gak bisa terus-terusan beli buku, ya browsing lah di internet, terpenuhi kok, sumpih.... kagak ada bedanya.

Ok Jibongki, kelamaan nulis jadi gak kerja nih, sekali lagi, karena daku pernah gagal, karena daku pernah membuat kesalahan, makanya daku berbagi dengan mu, tapi semua itu, it is absolutely up to you.....

Love you,
daku

Rabu, 07 Mei 2008

BERPIKIR YANG BENAR

Sejak kecil sebenarnya saya sudah selalu berpikir “takut berpikir”, saya sering takut berpikir karena saya tidak pernah yakin (sesungguhnya) bahwa apa yang saya pikirkan itu adalah sesuatu yang benar.

Bermula ketika saya duduk dibangku sekolah dasar diawal tahun tujuh puluhan. Saat itu saya diminta oleh zuster saya untuk menjelaskan didepan kelas apa arti sebuah persahabatan bagi saya. Semalaman saya berpikir bahwa sahabat itu adalah teman bermain, sahabat itu selalu ada disamping kita, sahabat itu selalu berkata jujur, sahabat itu selalu setia, sahabat itu titik, titik, titik... yang semuanya berisi kaidah dasar moral, etika dan agama yang diajarkan oleh orang tua dirumah maupun para tetua disekolah.

Namun menjelang keberangkatan saya ke sekolah, esok harinya, didalam mobil duduk ditengah diapit oleh kedua kakak saya, saya berpikir, bagaimana kalau suatu hari saya tidak masuk dan tidak bermain dengan sahabat saya, apakah artinya saya sudah tidak menjadi sahabat lagi? Bagaimana kalau suatu saat saya tidak ada disampingnya, apakah gugur sudah jabatan saya sebagai seorang sahabat, bagaimana apabila suatu saat saya tidak jujur kepadanya, karena saya tahu dengan pasti bahwa sahabat saya itu cengeng dan dia akan selalu menangis berteriak, memekakkan kuping kiri dan kuping kanan saya hanya karena tahu bahwa hari itu Ibu Maria tidak masuk dan akan digantikan oleh Zuster Paula yang tidak disukainya, dan bagaimana-bagaimana lainnya yang memenuhi kepala saya apabila saya tidak dapat memenuhi persyaratan yang telah saya pikirkan masak-masak untuk memaparkan dihadapan teman-teman saya nanti, apakah arti sahabat itu bagi saya.

Tepat jam tujuh lewat sepuluh menit, sesaat setelah berdiri tegak rapi berbaris untuk memasuki ruang kelas dan mata pelajaran pertama diawali dengan berdoa Bapak kami bersama-sama, saya berjalan maju kedepan kelas, dan saat itulah saya terpaksa mengubah semua konsep pemikiran yang sebelumnya telah saya rancang dengan sebaik-baiknya bahwa sahabat tidak harus selalu ada, sahabat tidak harus selalu berada disamping, sahabat tidak harus selalu jujur, tetapi, satu yang saya pikir tetap harus dipertahankan, bahwa menjadi sahabat itu harus selalu setia, disaat suka maupun duka.

Sambil terbata-bata (karena takut melihat sosok Zuster Eduarda yang berbadan bak raksasa pemangsa Hazel & Gretel), saya sampaikan pokok pikiran saya perlahan sambil tetap berpikir, apakah pikiran saya ini benar atau tidak.

Dan ternyata, kebiasaan tersebut berlanjut sampai sekarang. Sekian puluh tahun sudah terlewati dan saya masih sering ragu (walaupun 99% orang yang mengenal saya mengatakan bahwa saya adalah tipe mahluk Tuhan yang kelewat pédé), apakah yang saya pikirkan ini adalah benar, tepatnya, tidak hanya benar tetapi baik dan benar.

Jari tangan dan jari kaki saya tidak cukup untuk menghitung berapa orang pandai yang dimiliki oleh bangsa ini. Luar biasa banyaknya. Tidak hanya mereka yang pandai disertai sederet huruf besar perlambang strata pendidikan diawal dan-atau diakhir nama mereka, tetapi sederet orang pandai tanpa gelar atau yang memang tidak bersedia membuang-buang tinta demi mencetak gelar yang telah “dengan susah atau dengan mudah” mereka dapatkanpun jumlahnya sangat banyak.

Sangat menyenangkan dan membanggakan bahwa kita benar-benar memiliki banyak orang pandai yang pastilah mereka dapat menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan bumi ini.

Namun, kenapa kita tidak juga maju? Kenapa kita tidak juga makmur? Kenapa kita tidak juga merasakan keadilan yang merata? Kenapa juga kita tidak merasakan kedamaian dan kebebasan yang hakiki dalam kehidupan yang semakin tua ini?

Kembali saya berpikir (walaupun tetap merasa apakah pikiran saya ini benar), apakah mereka semua para cerdik pandai itu telah benar-benar berpikir, meluangkan waktunya untuk memerah bermiliar sel dikepala mereka masing-masing untuk kemudian diamalkan kepada seluruh kawula diwilayah Nusantara ini, sehingga minimal sejajarlah kita dengan negara tetangga yang telah lebih dahulu dikenal oleh dunia kebanyakan (karena kemajuan ekonominya, kemajuan teknologinya, kemakmuran rakyatnya dan lain sebagainya, bukan karena bom di Bali, bukan karena sekeluarga kompak bunuh diri dan saling membunuh dan bukan juga karena telah berhasil menjadi jawara pertama dalam lomba korupsi dan kemacetan ibu kota).

Seandainya, mari kita berpikir sambil berandai-andai, para cerdik pandai itu dengan segala kekurangan dan kelebihannya bersatu padu, mengutamakan kepentingan bersama, kepentingan para Ibu dan Bapak tua yang terseok-seok berhimpitan, kepanasan dan pada akhirnya pingsan hanya untuk tiga lembar uang IDR berwarna merah yang dibagikan oleh para juru bayar pemerintahan, mengutamakan kepentingan anak-anak yang kesulitan belajar dengan tenang, tidak takut kehujanan, tidak takut kepanasan dan tidak takut mati tertindih atap yang sudah reyot (karena kalau takut tidak bisa bayaran sekolah itu sudah basi), para cerdik pandai yang mau mengutamakan para Ibu yang selalu mengeluh dipasar karena setiap hari harga berubah-ubah, para Bapak yang merasa kesal karena setiap kali sampai dirumah para isteri sudah siap dengan keluhan baru perihal uang, uang dan uang lagi...., seandainya para pandai mau berpikir tanpa harus merasa was-was akan kedudukannya, merasa was-was karena pundi-pundi yang belum juga membengkak, merasa was-was karena ancaman para pihak yang akan menyerang diri dan keluarganya (akibat hutang budi atau hutang uang masa lalu) apabila hasil pikirannya yang dirasa benar, benar-benar dipublikasikan dan diaplikasikan dalam regulasi-regulasi kepemerintahan, saya yakin, dan Anda juga pastinya, apa yang saya pikirkan selama ini pastilah benar, benar menjadi kenyataan bahwa kita juga bisa menjadi bangsa yang sama majunya dengan bangsa lain diplanet biru ini.

Saya lelah, saya (maaf) muak dan pada akhirnya saya lebih senang menonton acara bertema binatang atau masak-memasak dari pada harus menonton dan mendengarkan berita yang penuh dengan kesulitan (yang sebenarnya adalah kesulitan yang dibuat oleh “kita sendiri”), berita yang penuh dengan kejahatan (yang sebenarnya kejahatan yang dibuat oleh “kita sendiri”) dan yang terparah adalah berita yang penuh dengan kebodohan (yang sebenarnya kebodohan itu adalah ciptaan “kita sendiri”).

Akhirnya saya kembali berpikir lagi, apakah mereka semua sudah berpikir dengan benar dan baik atau ternyata mereka hanya sekelompok orang yang selalu merasa “gue pikir gue bener, gue pikir gue baik....”

Sayang, saya hanyalah seorang KINI2603, jadi saya hanya dapat berpikir dan menulis, itupun sambil merasa was-was, apakah pikiran saya itu benar dan baik adanya...

Rabu, 23 April 2008

Ahmadiyah

Saya sebenarnya sangat anti dalam menulis masalah yang bersifat SARA. Tetapi karena sudah sangat tidak tahan melihat proses kehidupan beragama di Indonesia, akhirnya saya terpaksa menulis juga demi melegakan perasaan yang selama ini mengganggu kenyamanan saya membaca, mendengar atau menonton berita diberbagai media.

Saya beragama Islam sejak kecil. Saya tidak pernah tahu sampai sekarang mahdzab apa Islam yang saya anut ini. Apakah tergolong Muhammadiyah, NU, Persis atau golongan Islam lainnya, saya tidak pernah tahu. Yang saya tahu dan saya alami serta saya yakini, karena sudah diajarkan sedari kecil, Islam yang saya anut itu adalah Islam sebagai agama yang sangat penuh toleransi. Islam saya adalah Islam yang mengharuskan kami saling menghormati, baik antar sesama Islam maupun dengan penganut agama lainnya. Ingat! Kami hanya diminta untuk saling menghormati, bukan menerima dan mempersamakan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Kami diharuskan untuk saling berlaku sopan, menyayangi dan saling menjaga antar sesama, seperti sebelumnya, baik antar sesama Islam maupun dengan penganut agama lainnya. Yang saya pelajari dan saya yakini, Islam saya adalah Islam yang sangat moderat, dengan berpegang teguh kepada kitab yang satu, Al Quran, kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, dan kepada hadist-hadist (yang begitu banyaknya dan belum ada satupun yang saya pelajari secara rinci, kecuali sebatas penggalan yang ada dibuku-buku referensi agama Islam yang berjejer dirak buku saya).

Salah satu hadist yang pernah saya baca dalam salah satu buku saya tersebut mengatakan bahwa “semakin mendekati hari kiamat, akan semakin banyak aliran/sekte/golongan agama Islam bermunculan. Masing-masing aliran/sekte/golongan akan mengklaim bahwa aliran/sekte/golongan-nyalah yang terbaik dan terbenar, bahkan kita sendiripun tidak akan tahu apakah kita memang termasuk dalam golongan Islam yang baik dan benar”, demikian kurang lebih kalimat yang pernah saya baca dan beruntung pula bahwa kalimat tersebut pernah saya dengar diucapkan oleh seorah penceramah agama distasiun televisi swasta terkenal, sebanyak dua kali.

Jelas dan pasti, saya bukan pendukung Ahmaddiyah, saya juga tidak setuju dengan keyakinannya yang meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad SAW masih ada satu orang lagi yang diyakini sebagai nabi terakhir. Keyakinan saya tetap bahwa nabi saya yang terakhir, nabi terbesar dan junjungan kaum muslimin adalah tetap Nabi Muhammad SAW.

Tapi apa mau dikata, ini masalah keyakinan. Keyakinan merasuk tidak hanya dalam raga tetapi juga dalam sukma. Siapa mahluk ciptaan Tuhan yang mampu membaca isi jiwa dari sesama mahluk ciptaan Nya? Siapa yang mampu mengubah keyakinan seseorang kalau keyakinan tersebut telah merasuk, mengendap, menempel bersatu dalam sanubari sebagai keyakinan yang diyakininya? Siapa yang berhak untuk menghakimi bahwa sayalah yang terbaik dan kamu semua adalah salah, siapa?

Keyakinan saya atas Nabi Muhammad SAW adalah keyakinan yang tidak dapat diganggu gugat (Insya Allah). Begitu juga keyakinan saya bahwa setiap orang didunia ini memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama pula. Oleh karena itu saya sangat meyakini bahwa kita, umat muslim hanya memiliki kewajiban untuk mengingatkan, tidak menghilangkan, memberangus apalagi menumpas keyakinan orang lain.

Saya sangat yakin bahwa kita, umat muslim hanya wajib untuk mengingatkan orang-orang, kaum atau golongan yang menurut pandangan kita dan menurut keyakinan kita mereka adalah salah, hanya mengingatkan! Satu kali, kita ingatkan, dua kali, kita ingatkan, tiga kali, kita ingatkan, empat kali? Itu sepenuhnya sudah menjadi hak Allah SWT.

Keyakinan adalah masalah hati nurani, masalah yang paling dalam dan hanya Tuhan, Allah SWT yang mampu merasuki hati ciptaan Nya. Apapun yang akan dilakukan oleh mereka yang menamakan dan mencantumkan agama Islam di KTP-nya masing-masing, memfatwakan bahwa Ahmaddiyah adalah ajaran sesat, membakar semua bangunan Ahmaddiyah, melarang setiap orang berhubungan dengan pengikut Ahmaddiyah sampai memberangus semua fasilitas atau bahkan memenjarakan serta membakar hidup-hidup pengikut Ahmaddiyah, apakah ada jaminan bahwa keyakinan mereka yang telah terpupuk dalam jiwa dan sanubarinya masing-masing akan hilang? Kalau ada yang meyakini hal seperti itu, kasihan, sungguh picik pikirannya dan menurut saya mereka telah menyia-nyiakan pemberian Tuhan yang paling berharga, yaitu akal.

Kesedihan saya semakin bertambah karena ternyata tidak hanya mereka yang, menurut keyakinan saya, berpikiran picik dan telah memporak-porandakan keamanan kehidupan beragama dalam bangsa ini, tetapi ternyata para petinggi pemerintahan yang konon bahkan bergelar profesor doktor-pun ikut-ikut mengamini perbuatan para perusuh, dengan ditambah embel-embel yang menyatakan “setelah dipelajari dan dianalisa dan demi ketentraman kita dalam beragama”, pada akhirnya kebodohan itu terwujud sudah.

Entah bisikan siapa dan dari mana, mereka dengan penuh keyakinan dan kejumawaan seolah-olah telah menjadi para pemikir yang pintar (padahal sesungguhnya hanyalah dia pikir dia pintar, ups... maaf...), telah berhasil mengeluarkan fatwa dengan persetujuan dan dukungan penuh dari segenap aparat yang berinti: keyakinan dapat dihapus.

Hanya karena kehawatiran yang mendalam akan sesatnya Ahmaddiyah dan pada akhirnya akan mempengaruhi dan menyesatkan generasi muda saat ini, fatwa yang menggelikan itu diumumkan. Apakah mereka tidak berpikir, ketika kaum muda kita mengikuti ajaran sesat, ketika kaum muda kita berubah keyakinan, ketika kaum muda kita tunduk akan aturan baru made in manusia, sebenarnya kesalahan terbesar adalah pada diri kita sendiri.

Kesalahan yang terjadi bukan karena bermunculannya sekte/aliran/golongan agama baru, bukan karena timbulnya keyakinan yang tidak sekeyakinan dengan kita. Kesalahan yang terjadi sesungguhnya karena kita tidak mampu memupuk keyakinan kaum muda, kita tidak mampu membentengi mereka dengan keyakinan kita, kita tidak mampu menjadikan kaum muda kita menjadi kaum yang kuat, menjadi kaum yang handal, menjadi kaum yang mengerti, mentaati dan mengamalkan keyakinan kita selama ini.

Saya jadi ingat kepada teman saya sekian belas tahun yang lalu, Ali namanya, menurut dia, kondisi tersebut adalah kondisi dimana orang-orang lebih menggunakan “ilmu kentut” artinya lantai yang ditembak (oleh pembuangan angin kebawah) dan hidung yang kena (bau dari pembungan itu). Ya, saya yakin para petinggi kita lebih senang menggunakan ilmu kentut ketimbang ilmu introspeksi diri.

Sayang sekali, seandainya kepandaian dan ilmu yang dimiliki lebih digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, saya yakin, Indonesia akan mengungguli negara lainnya menjadi negara maju yang berkeadilan dan berkeyakinan baik.



Kamis, 28 Februari 2008

Balthasar's Odyssey

Buku karangan Amin Maalouf, seorang pria Arab Katolik yang dilahirkan dikota Beirut pada tahun 1949. Pada tahun 1993 Amin Maalouf meraih penghargaan Prix Goncourt atas karyanya yang berjudul "Rock of Tanios".

Buku ini menurut saya sedikit ganjil, tidak seperti lazimnya ketika kita membaca karya satra lain, dimana pada penghujung cerita jelas akan diakhiri dengan kisah sedih, kisah senang atau menggantung sesuai dengan imajinasi pembaca masing-masing.

Menurut saya sebetulnya buku ini adalah masuk dalam kategori terakhir pada alinea di atas, yaitu sesuai dengan imajinasi pembaca masing-masing. Tapi yang membuat buku ini berbeda adalah sampai dengan halaman-halaman terakhir saya belum dapat menebak akhir dari cerita ini atau lebih tepatnya lagi saya masih bingung harapan apa yang saya inginkan dari akhir kisah ini.

Seorang duda berusia 40 tahunan yang berasal dari Gibelet ditahun 1666, terjebak dalam eforia kegilaan masyarakat sekitar akan berita berakhirnya dunia dan alam semesta pada tahun itu. Kegilaan ini bermula pada kisah yang tertuang dalam buku "Nama yang Keseratus".

Dalam mengejar buku yang jatuh ketangan pembeli asing, Balthasar akhirnya terbawa dalam perjalanan yang tidak direncanakan, berpindah kota, berpindah negara mengarungi keasyikan dunia percintaan yang berjalan mengalir tanpa perlawanan yang berarti.

Bagi saya kekuatan buku ini adalah penggambaran masalah psikologis yang dialami oleh Balthasar, saat dimana dia mengalami tekanan yang berulang kali, kisah cinta lama yang membawa harapan besar baginya dan rasa rindu yang disimpan rapi dalam bagian kecil hatinya atas kehadiran seorang Ibu yang diperolehnya dalam pelukan seorang Bess di London.

Sangat menyenangkan membaca buku ini. Pengalaman baru yang kita peroleh dari kancah sastra Timur Tengah.

Saran saya, bacalah dan biarkan imajinasi menyertai Anda dalam membaca buku ini.

Selasa, 26 Februari 2008

Hari Ini

Saya adalah salah satu penggemar teknologi yang termasuk dalam kategori gaptek, alias cukup tergila-gila dengan teknologi terkini tapi kurang faham untuk masalah rincinya karena agak-agak malas belajar untuk yang ribet-ribet.

Tapi setiap kali saya berselancar dalam internet, setiap kali juga rasa iri pasti muncul dalam diri saya, kok ya ternyata banyak orang yang pandai-pandai, kreatif, inovatif, menyenangkan dengan ilmunya masing-masing saling membuka diri, berbagi apa yang bisa dibagi melalui dunia maya ini.

Semakin lama saya berselancar, semakin besar keinginan saya untuk ikut-ikutan berbagi (walaupun tidak tahu sebenarnya apa yang akan saya bagi) dan membuka diri dalam bentuk tulisan yang pastinya belum tentu enak dibaca dan perlu (terimakasih untuk media yang telah menciptakan moto ini dan kini saya pergunakan tanpa permisi kepada yang bersangkutan).

Oleh karena alasan tersebut di atas, dilengkapi dengan alasan resolusi saya untuk tahun 2008 ini, saya memutuskan untuk mulai mencoba membuat apa yang sekarang sedang menjamur yang menurut hemat saya banyak mengandung sisi positif serta mudah-mudahan hal ini memang baik untuk saya - terutama dan juga untuk pembaca semua - mungkin, yaitu membuat blog pribadi dengan nama “KINI2603”.

Saya akan mulai belajar untuk berbagi dalam tulisan-tulisan saya selanjutnya, yang seperti sudah saya sampaikan di atas, saya tidak terlalu yakin bahwa tulisan saya ini akan enak dibaca dan perlu. Tapi diluar itu semua, saya belajar untuk tidak peduli apakah ini akan menjadi blog yang bagus, blog yang baik, blog yang berguna, blog yang menyenangkan atau bahkan menjelma menjadi blog yang tak tersentuh alias nihil pengunjung, yang penting saya akan menulis dan menulis dengan harapan : ada yang baca syukur, gak ada yang baca ya sudah.

Terakhir, terimakasih sudah membaca tulisan saya yang kesekian ini sampai selesai.

Rabu, 20 Februari 2008

Entah Dari Mana Asalnya

Darah yang mengalir ditangannya terasa dingin. Kulitnya terkelupas walaupun tidak terlalu lebar. Serpihan kaca, tanah dan pasir terlihat menempel pada lukanya. Perlahan dengan tangan yang satu dia mulai membersihkan luka tersebut. Tidak ada rasa sakit. Bahkan perih dan ngilupun tidak dia rasakan. Rasa sakit yang dirasakan olehnya tidak berasal dari luka yang terlihat sedikit menjijikkan melainkan justru terasa dari dalam sanubarinya, begitu sakit dan terasa sangat pedih menggores perasaannya.

Dia terlalu lelah untuk berkata-kata, bahkan untuk berteriak meminta bantuan sekalipun. Secara berturut-turut kejadian yang menimpanya telah mengunci mulutnya untuk tidak mengeluarkan kata-kata apabila dirasakan tidak perlu olehnya. Pikirannya melayang, tangannya meraba luka yang basah oleh darah, matanya nanar memandang kedepan, tidak jelas apa yang dipandangnya karena dia tidak peduli saat ini akan pandangannya, dia hanya peduli akan pemandangan yang melintas dibenaknya berkali-kali.

Ketika itu, isterinya tengah sakit, sakit tiba-tiba yang tidak pernah jelas asal-usulnya dan proses penyembuhannya. Yang dia ingat hanyalah membawa kemanapun sesuai dengan saran dari teman dan kerabat perihal orang-orang yang dirasa dan ditengarai ahli dalam menyembuhkan penyakit. Dia tidak lagi perduli apakah mereka seorang dokter, seorang dukun, seorang romo atau seorang kiyai sekalipun. Yang dia peduli adalah bagaimana agar isterinya dapat dengan segera sembuh dari seluruh penyakit yang menggerayanginya.

Biaya ? Itu termasuk yang dia tidak pedulikan. Dia memang bukan termasuk orang yang kaya raya, tetapi kalau dilihat jumlah angka yang tertera dalam buku tabungannya serta yang tertera dalam beberapa lembar bilyet depositonya, semua orang akan mahfum bahwa dia pasti akan mampu mengobati isterinya sampai titik darah penghabisan.

Begitu banyak orang yang bersedia membantu memberikan pengobatan. Begitu banyak obat dan segala pernak-pernik yang mereka nyatakan mampu untuk menyembuhkan derita isteri terkasih. Bahkan satu botol kecil ramuan seharga motor bebek buatan Jepang model terakhirpun dia beli tanpa berpikir panjang. Sampai akhirnya, sang isteri berpulang kepada yang berhak atasnya, kepada Pencipta yang memiliki kuasa penuh atas apapun yang ada didalam alam semesta ini.

Buku tabunganpun diletakkannya disudut belakang laci meja kerjanya. Hanya rupiah sebesar minimal saldo yang tercetak dalam buku tabungan tersebut. Bilyet Deposito sudah tidak lagi dia miliki karena telah dikembalikan saat dia mencairkannya beberapa waktu yang lalu.

Tapi hidup tidak berhenti. Dia masih memiliki sisa yang sangat berharga bagi hidupnya yaitu sikecil putri tunggal yang sedang mulai belajar bicara. Bahkan Sang Agung masih menyayanginya, rumah kecil dengan halaman luas diperumahan ternama masih dapat dia tinggali dengan nyaman, selain pekerjaan yang masih dia tekuni plus kendaraan kelas menengah yang masih dapat ditumpanginya setiap hari. Cukup lengkap walaupun belahan jiwa sudah lelap dibawah sana.

Hanya selang seratus hari sejak kematian isterinya, sang puteri mulai terserang batuk yang terus berkembang semakin parah hingga kembali dia mendatangi para orang pintar, sekawanan dokter, dukun, romo dan kiyai yang sangat diharapkannya dapat menyembuhkan putri semata wayang. Kembali rupiahpun bergulir, rumah kecil idaman sejak masa pacaran akhirnya lepas juga ditangan tetangganya yang sudah sejak lama ingin memperluas halaman hijau tempat anak-anaknya bermain. Tidak perlu menunggu lama, kendaraan tunggalpun lepas ditangan pemilik show room dekat kantornya. Tuhan masih sayang kepadanya, Pak Guru dibelakang rumah dulu bersedia memberikan satu kamar berukuran empat kali empat meter untuk berteduh seadanya tanpa perlu memikirkan biaya sewa. Sejak sang puteri jatuh sakit toh hari-harinya lebih banyak dilewati dikantor pada siang hari dan di rumah sakit pada malam hari.

Ketika saatnya Sang Empunya bertindak, tepat pada saat adzan subuh berkumandang, puteri manis meninggalkan senyum dibibirnya yang terus disunggingkannya sampai papan-papan menutup wajah dan tubuh mungilnya terlelap beralas tanah yang dingin.

Selesai tahlil terakhir, dia berkeyakinan bahwa sudah saatnya bertanya kepada yang pintar, kepada siapapun orangnya yang bergelar pintar tertinggi dan dapat membaca dan membantu dirinya meneruskan sisa hidupnya yang dia yakini masih akan berlangsung lama.

Wajah yang bersih, penampilan wangi disertai pakaian rapi dan tutur kata yang tenang telah mencairkan hatinya yang mulai beku menjadi hangat terselip harapan yang sangat tinggi untuk memulai hidup baru. Wejangan-wejangan panjang lebar akan hari esoknya, doa-doa mustajab yang harus dibacanya serta laku yang harus dilaksanakannya telah diterimanya dengan segenap hati, tanpa prasangka serta penuh dengan keyakinan. Biaya tidak lagi menjadi masalah, jaminan akan kehidupan yang lebih baik menjadikannya berani untuk mulai menandatangani kwitansi bukti hutang, baik kepada kerabat, teman kantor, tetangga maupun sang guru baik hati yang telah sudi meminjamka sebuah ruang untuknya berteduh.

Dia tetap menjalankan ibadah agamanya sesuai dengan agama yang dianut seperti yang tertera dalam KTP. Namun laku dari sang maha pintar jauh lebih banyak dia lakoni mengingat jaminan akan hari esok yang lebih baik, lebih jelas dan lebih eksplisit ketimbang janji Sang Maha Penolong yang sampai saat ini belum terwujudkan meski sebelumnya dia termasuk kategori golongan kaum taat.

Saat laku tengah giat dilaksanakan, berita sekencang halilintar sampai dengan cepat ditelinganya. Dia termasuk gelombang pertama yang terkena PHK tanpa pesangon akibat kantornya merugi, pailit dan akhirnya ditutup terkena dampak depresi ekonomi yang meluas. Bergelar pengangguran, dia mati-matian mencari pekerjaan baru diusianya yang menjelang empat puluh tahun. Rasa heran mulai berkecamuk dalam hatinya. Sejak dia memuja dengan taat kepada Sang Mulya, sampai dia mulai melakukan laku dari sang pintar, tidak satupun derita yang sudi meninggalkannya. Apa yang terjadi justru derita semakin kerap menyambanginya, menemani dari hari ke hari bahkan hingga sahabat tercintapun tega meninggalkannya saat terakhir kali dia jatuh tersungkur.

Semua telah hilang, dua kekasihnya, seluruh kemewahan duniawinya, bahkan teman karib yang sering berikrar akan saling setia saling membantupun hilang raib dihadapannya. Berulang kali sang pintar menjanjikan perbaikan hidup pada bulan yang kesekian. Berulang kali sang pintar menjanjikan rejeki berlimpah pada bulan yang kesekian. Berulang kali sang pintar menjanjikan bahwa awal tahun yang telah terlewati sebanyak delapan purnama akan menjadi awal baru kehidupannya yang penuh sukacita dan berulang kali juga dia menatap waktu yang terlewati tetap dengan derita disisi kiri dan kanannya.

Ditengah ketidak berdayaannya, ditengah keterpurukannya, kembali dia mulai berpikir, apakah dia harus kembali kepada Sang Maha Mulya atau terus menjalankan laku sesuai pentunjuk sang pintar. Kebimbangan mulai merasuk menyeruak ditengah rasa sakit jauh didalam sanubarinya. Dia lelah akan harapan yang telah digantungnya setinggi langit. Dia bingung atas janji manakah yang akan dia pegang, janji Sang Maha Mulyakah yang tak tersentuh atau janji sang pintar yang terasa hangat genggaman tangannya.

Keduanya berjanji kepadanya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik, keduanya berjanji kepadanya untuk memberikan kehidupan yang nyaman dan penuh kebahagiaan. Tidak hanya sampai disitu saja, berbeda dengan sang pintar, Sang Maha Mulyapun menambahkan janjinya dengan kehidupan abadi, tenang dan damai setelah kepulangannya dihari akhir nanti. Bahkan ketika sebuah motor melaju kencang dan melontarkannya dengan keras ketanah kosong yang menyebabkan luka menjijikkan ditangan kirinya, Sang Maha Mulya tetap meniupkan janji Nya melalui suara adzan dzuhur yang entah berasal dari mana.

Ketika akhirnya dia sendiri dan berdarah serta hanya kumandang suara adzan yang terdengar, entah dari mana asalnya, janji itu terasa diucapkan kembali oleh Sang Maha Mulya. Entah dari mana asalnya, akhirnya dia meyakini bahwa Sang Maha Mulya jauh lebih tinggi dari sang pintar dan entah dari mana asalnya, akhirnya dia lebih memilih kembali untuk mempercayai janji Sang Maha Mulya karena entah dari mana asalnya tiba-tiba dia merasakan perlu akan sesuatu Yang Maha Mulya untuk disimpan didalam hatinya dan menjadi sahabat setia yang tidak akan mungkin meninggalkannya sampai akhir nanti.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba dia menjadi kuat untuk kembali memulai segalanya dari awal. Entah dari mana asalnya....

Sang Penulis

Matanya nampak serius menatap layar komputer dihadapannya, sesekali dia merentangkan tangan kesamping berusaha meregangkan otot-otot yang kaku disekitar leher dan pundaknya. Kepala juga sesekali diputar-putarnya, mungkin terasa kaku atau penat karena setiap hari berjam-jam lamanya dia selalu duduk dihadapan komputer diruang kerjanya.

Setiap hari rutinitas tersebut selalu dilakukan persis mengikuti jam kantor yang biasa dilaluinya. Dimulai pada pukul sembilan pagi dan akan diakhiri tepat pukul lima sore, saat yang sama dimana teman-teman kantornya dulu selalu mengakhiri rutinitas kerja mereka demi mendapatkan tempat yang terbaik didalam mobil jemputan. Perbedaan yang terasa hanya masalah waktu, dulu semua harus dilakukan dengan tergesa-gesa agar semuanya dapat dilakukan tepat sebelum jam kerja selesai sementara sekarang semuanya dapat dilakukan sekehendak hati, tidak ada ketergesaan, tidak ada tenggat waktu, semua ditentukannya sendiri sesuai dengan aturan baru yang kini diterapkan dalam kehidupannya.

Jendela ruang kerjanya tepat menghadap sebuah gunung yang terletak nun jauh disana memperlihatkan bayangan biru, tinggi, besar dibingkai oleh kayu jendela yang menunjukan bahwa disana ada sebuah gunung menjulang membatasi wilayah pandangnya. Sengaja dia meminta kepada arsitek yang membangun rumahnya agar mengacu kepada gaya kolonial art deco. Gaya yang menjadikan jendela yang setiap hari selalu dibukanya memiliki dua buah daun jendela, memiliki kaca kotak-kotak dan dihiasi kisi-kisi kayu yang ketiganya menunjukan bentuk rumah kuno idamannya sejak masa lalu.

Ruang kerjanya memang tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan ruang kerja rumah orang tuanya dulu. Ruang ini cukup untuk menampung rak-rak buku yang sudah dikoleksinya sejak kecil dan saat ini sudah berjumlah ribuan buah buku. Setiap dinding penuh dengan rak tersebut, hanya pintu dan jendela yang tidak tertutup oleh rak buku koleksinya. Meja kerja sengaja diletakkan tepat dibawah jendela, dengan demikian angan-angannya untuk menulis dibelakang jendela yang terbuka terwujud sudah. Persis seperti dalam foto-foto yang sering dilihatnya dimajalah-majalah terbitan luar. Gambaran akan para sastrawan yang menulis dan mencari inspirasi selama berjam-jam sambil menatap pemandangan dihadapan mereka yang terlihat secara jelas melalui jendela yang terbuka. Inilah gaya hidup, jenis pekerjaan dan sumber pencarian nafkah yang telah berpuluh tahun selalu diidam-idamkan olehnya sejak dia masih duduk dibangku sekolah dasar.

Ketika jam sudah menunjukan arah jarumnya pada angka sembilan, sudah saatnya bagi dia untuk masuk kedalam ruang kerja serta memulai rutinitasnya menulis. Tidak akan ada satupun anggota keluarga yang berani mengganggunya. Semua akan mengerjakan seluruh tugasnya masing-masing tanpa perlu mengganggu dirinya yang sedang serius didepan komputer.

Rumahnya memang tidak terlalu kecil, untuk ukuran jaman sekarang rumah itu terlihat cukup besar walaupun tidak termasuk dalam kategori rumah besar. Halamannyalah yang memang besar, sangat luas untuk hitungan meter persegi bagi rumah-rumah sekarang yang terletak dalam kompleks-kompleks perumahan yang tersebar dipinggir-pinggir kota. Karena harga tanah yang luar biasa tinggi, karena kejemuan yang semakin meningkat akibat kemacetan jalan dimana-mana, karena mimpinya akan rumah kecil berhalaman luas bak little house in the praire dan yang terpenting karena jumlah dana dalam tabungannya yang memang terbatas, akhirnya dia memutuskan untuk membeli sebidang tanah dipinggir kota, tidak didalam kompleks perumahan tetapi berada tepat ditengah lingkungan rumah rakyat yang masih tradisional, sederhana tetapi tidak kumuh. Dengan arah tanah yang menghadap kegunung, sedikit-demi sedikit mimpi-mimpinya mulai terwujud.

Halaman yang luas telah dipenuhinya dengan tanaman-tanaman produktif yang semuanya dapat dikonsumsi, cara bercocok tanamnyapun telah mengikuti gaya hidup masa kini, serba organik, kembali kealam demi terciptanya kehidupan yang ramah lingkungan. Setiap hari, saat memasak tiba, bi Icih akan mengambil semua keperluan memasak hari itu langsung dari kebunnya. Tidak hanya sayur-sayuran, buah dan daun-daun bumbupun bisa langsung dipetik dari halaman rumahnya. Apalagi saat ini ayam-ayamnya sudah bertelur secara rutin dan umurnyapun sudah cukup untuk dipotong dan dijadikan opor atau ayam bakar. Dibagian paling belakang dari halaman itu seminggu sekali bi Icih akan mengambil ikan untuk dipepes atau ditim. Walaupun tidak lengkap, beberapa buah pun sudah dapat dihidangkan untuk melengkapi asupan makanannya. Cukup lengkap dan memenuhi persyaratan untuk menjadi river cottege life style didaerahnya. Satu lagi yang tidak terlupakan, dua pasang angsa sengaja dipeliharanya sebagai pengganti anjing penjaga yang sudah tidak dipeliharanya lagi sejak dia mulai menunaikan ibadah wajib yang lima waktu.

Kembali kedalam rumah, dia masih serius duduk didepan komputernya. Komputer dengan kelas high end berbentuk note book yang khusus dibelinya untuk memenuhi kebutuhan dalam hal tulis menulis. Komputer jinjing itu diletakkannya di atas meja terbuat dari kayu jati yang terlihat sangat kokoh serta sangat berat. Meja ini didapatnya dua tahun yang lalu saat dia berburu barang-barang tua disebuah toko mebel yang khusus menjual barang bekas. Karena bentuknya yang sangat kaku, besar dan berat, sang penjual sudah memajang barang tersebut ditokonya lebih dari enam tahun dan dialah yang menjadikan pemilik toko beruntung karena setelah melalui tawar menawar yang cukup lama akhirnya meja tersebut dilepas dan dikirimnya kerumah. Saat itu tidak hanya meja yang berhasil dibawanya pulang, sebuah kursi goyang yang masih dalam kondisi sempurna serta kursi malas yang samar-samar pernah dilihatnya dulu saat dia masih kecil dirumah kuno milik eyangnya puluhan tahun yang lalu, juga berhasil dibelinya. Selain dua buah kursi, dia berhasil membawa cermin oval setinggi tubuhnya. Itulah the swinging miror yang diidam-idamkan sejak dia masih dibangku kuliah dulu saat menonton film “Saijah dan Adinda”. Kursi yang didudukinya saat ini, kursi meja kerjanya tidak didapatkan dari toko itu tapi dia berhasil membawa pulang kursi tersebut dari sebuah acara bazaar amal yang diadakan oleh sebuah perkumpulan sosial yang menjual barang-barang bekas serta menggunakan dana yang terkumpul untuk mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak tidak mampu yang berada dipinggir sungai besar dikotanya.

Impiannya semakin lengkap terwujud. Halaman luas yang dipenuhi oleh tanaman, gaya hidup kembali kealam, furnitur rumah bergaya tempo dulu, pemandangan indah melalui jendela ruang kerjanya dan seperangkat komputer jinjing telah menjadi modal utama untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang penulis.

Sesekali tatapan matanya dialihkan dari layar komputer kearah depan, memandang gunung serta rumah-rumah penduduk disekitarnya. Saat itu semua orang yang berjalan didepan rumahnya tahu bahwa dia sedang berpikir, mencari inspirasi, merangkai kata dan menyusun gambar dari kisah yang akan ditulisnya. Menulis memang tidaklah mudah bagi yang tidak biasa tetapi menjadi amat mudah bagi yang biasa melakukannya. Dia nampaknya masuk dalam kelompok yang terakhir, biasa melakukannya karena setiap hari sejak Senin sampai Jumat rutinitas tersebut kerap dikerjakannya. Sejak dia memutuskan untuk berhenti bekerja dari kantor dan menggunakan seluruh tabungan, uang pesangon serta uang hasil penjualan rumah dikota sekitar satu setengah tahun yang lalu, hampir semua orang yang mengenalnya bahkan bi Icihpun tahu bahwa dia sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupnya sebagai seorang penulis seperti para sastrawan yang bukunya tersimpan didalam rak buku diruang kerjanya.

Menjadi penulis sastra adalah cita-cita yang sejak kecil sudah diimpikannya. Memang selama sekian puluh tahun cita-cita tersebut tidak terwujud karena dia terpaksa harus memenuhi keinginan orang tuanya menjadi seorang akuntan, persis seperti pekerjaan yang dilakukan oleh Ibu dan Bapaknya. Namun sejak keduanya meninggal dunia maka sudah saatnya dia memutuskan jalan hidupnya sendiri. Ketika keduanya masih hidup dia memang sengaja selalu memenuhi apa yang orang tuanya inginkan meskipun seringkali keinginan itu bertentangan dengan apa yang dia inginkan sendiri. Dia sangat meyakini bahwa semua itu pasti ada batasnya dan kematian kedua orang tuanya adalah batas dari sikapnya sebagai sang penurut. Kematian kedua orang tuanya adalah batas waktu dia mengakhiri hidupnya ditengah hiruk pikuk kota yang menyesakkan. Kematian kedua orang tuanya juga merupakan batas waktu baginya untuk menyelesaikan seluruh tugasnya sebagai seorang akuntan publik dan yang terakhir, kematian orang tuanya merupakan batas waktu bagi dirinya untuk berubah menjadi apa yang dia inginkan, apa yang akan dia lakukan dan mewujudkan apa yang dia impikan.
Ketika dia menjadi sendiri itulah batas akhir dari kehidupannya sebagai sang penurut dan saat ini, ketika hampir semua impiannya terwujud, awal kehidupan baru mulai dijalaninya.

Dihadapan komputer matanya kembali ditujukan, sesekali wajahnya berkerut, lama setelah menatap layar komputer terdengar ketukan halus menandakan dia mulai mengetik. Sebentar suara itu hilang dan dia mulai kembali memandang kedepan, kearah gunung. Pikirannya berputar, berusah keras untuk merangkai kata-kata yang ingin ditulis sebagai suatu kalimat. Cukup lama dia memandang gunung, menunggu sang inspirasi datang menyinggahi benaknya. Suasana yang nyaman, lingkungan yang bersih, pemandangan yang indah dan sedikit suara dari tetangga-tetangganya adalah suatu kondisi yang sempurna yang dapat menunjang keinginannya untuk menjadi penulis, untuk menjadi seorang sastrawan seperti yang dicita-citakannya.

Pukul dua belas siang, waktunya mengerjakan ibadah wajib, perintah khusus dari yang Maha Kuasa, dia segera beranjak berdiri, memasukan kursi kebawah meja kerja dan meninggalkan ruangannya. Untuk sementara ditinggalkannya komputer yang dibiarkan tetap menyala. Seperti biasa bi Icih masuk kedalam ruang tersebut untuk mengambil cangkir kopi yang sudah kosong yang selalu disajikannya setiap pagi, seperti biasa pula bi Icih melirik kedalam layar komputer sang juragan, membaca apa yang sejak tujuh bulan lalu tertulis disudut atas layar komputer tersebut, satu baris kalimat yang tidak pernah bertambah dan tidak pernah berkurang satu suku katapun: ”Panasnya terik matahari disiang hari itu benar-benar melelahkan lelaki tua disimpang jalan utama menuju pasar baru…”

Buku dan Saya

Salah satu hobby saya adalah membaca. Sejak saya mulai bisa mengingat-ingat, dirumah kami, Ibu dan Bapak saya memiliki perpustakaan pribadi. Waktu itu sekitar akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan. Karena Bapak saya lama tinggal di Jerman dan Amerika untuk sekolah militer, maka buku-buku dalam perpustakaan kecil itu lebih banyak berbahasa Jerman dan Inggris. Pastinya saat itu saya tidak mengerti, dan sampai saat inipun saya tidak pernah membukanya (alasan utama adalah saya tidak tertarik kepada isi buku tersebut dan alasan kedua saya tidak mengerti bahasa Jerman kecuali auf wieder sehen) kecuali memandangnya karena saya sangat suka melihat koleksi buku dengan hard cover yang sudah lusuh dimakan usia.

Lain lagi dengan Ibu saya, Ibu lebih menyukai buku-buku sastra, baik yang berbahasa Inggris, Belanda maupun Indonesia. Inilah yang menularkan kepada saya sampai dengan saat ini. Saya sangat menggilai karya sastra.

Sebagai informasi, saya lulus SI dari fakultas hukum perdata dengan spesialisasi perdata international. Begitu saya lulus kuliah pada tahun sembilan puluh, saya langsung diterima disebuah bank swasta nasional berskala cukup besar. Empat belas tahun saya berkutat didunia perbankan, berkali-kali diikut sertakan dalam pelatihan baik didalam maupun diluar negeri dan jabatan terakhir sebelum bye... bye... bank lumayan cukup tinggi, tapi toch setelah saya teliti dengan seksama dan dalam tempo yang tidak singkat, ternyata perpustakaan pribadi saya tetap lebih banyak dipenuhi dengan buku sastra daripada buku perihal perbankan dan berbau ekonomi lainnya.

Buku pertama saya berjudul “Teddy Bear” hadiah dari Ibu saya ketika saat itu saya masih belum dapat membaca. Buku itu berbentuk tidak seperti buku biasa, dengan panjang kurang lebih duapuluh enam sentimeter dan lebar tigabelas setengah sentimeter, setiap halamannya hanya berisi dua buah gambar berjejer bersisian yang masing-masing dibawahnya terdapat narasi dari tiap-tiap gambar tersebut.

Sang empunya lakon adalah keluarga Teddy beruang yaitu ma beruang, pa beruang dan tentunya Teddy kecil sang beruang. Lakon lainnya yang tidak kalah penting dan selalu hadir dalam setiap ceritanya adalah sang pangeran kecil “Humpty Dumpty”, putera mahkota yang telah ditunggu kehadirannya selama berpuluh tahun oleh sang Raja dan Sang Ratu yang ketika dilahirkan dan seterusnya berbentuk telur. Genduuut.... bulat... nakal... jenaka... tapi baik hati. Humpty Dumpty bersahabat dengan Teddy siberuang kecil.

Karena saat itu saya masih belum dapat membaca, maka saya hanya mampu menenteng buku itu sambil mencari mangsa, maksudnya begitu saya melihat ada Bapak saya atau Ibu saya atau kakak-kakak saya yang sedang duduk, pasti saya akan berusaha naik kepangkuan salah satu dari mereka, dan zonder permisi apalagi mendengar kata-kata tolakan, saya akan memaksanya untuk membacakan isi dari buku kesayangan yang besampul merah dengan isi berwarna hitam putih.

Bertambah umur saya, beragam pula bacaan saya. Ivanhoe, Shangrilla, Timun Emas, David Coperfield, Uncle Tom Cabin dan banyak lagi lainnya yang saya masih ingat penerbitnya adalah Gramedia, Pustaka Jaya, Balai Pustaka dan Djambatan. Ada yang berupa komik dan ada juga yang berupa novel yang disusun sedemikian rupa untuk dibaca oleh para pemula anak-anak SD.

Sayang, waktu itu saya dan kakak saya almarhum banyak meminjamkan buku kami berdua kepada teman-teman dan lebih sayangnya lagi karena mereka hampir 95% tidak ada yang mengembalikan buku-buku kami tersebut. Walhasil koleksi itu hanya ada dalam benak saya tanpa ada ujudnya sebagai alat bukti.

Memasuki SMP kecintaan saya kepada buku berkembang, tidak melulu menyukai isi dari buku tersebut tapi juga jatuh cinta kepada ujud dari buku-buku itu. Saya mulai pelit untuk meminjamkan buku kepada siapapun. Kalaupun ada yang berhasil membujuk saya untuk meminjamkan buku, maka saya akan mencatatnya dalam buku administrasi yang saya contek bentuknya dari perpustakaan disekolah saya, SMP ST. Angela.

Saat saya SMP, SMA, Kuliah dan mulai bekerja, saya sangat tergila-gila dengan sastra Eropa Timur. Deasy Manis karya Leo Tolstoy adalah salah satu buku yang saya baca berulang-ulang. Kisah cinta romantis antara seorang gadis belia berusia belasan tahun dengan seorang lelaki tua yang usianya terpaut puluhan tahun dengan sang gadis. So romantic, so sweet, luar biasa, saya tidak pernah bisa mengerti ada yang dapat mengarang dan memiliki ide untuk bertutur akan sebuah cerita yang sangat sederhana tapi dilukiskan dengan begitu rinci dan indahnya. Salut untuk Leo Tolstoy.

Memasuki tahun sembilan puluh enam-an, saya mulai pindah kelain hati, tepatnya malah mulai mendua, sastra Eropa Timur masih disukai tapi lebih tergila-gila kepada sastra Timur Tengah dan Asia Selatan. Nama Nawal el Saadawi, Najib Hahfouz dan Jhumpa Lahiri serta pengarang lainnya dari kedua jazirah tersebut mulai menghiasi rak buku saya.

Jangan kuatir, bukan berarti saya melupakan sastra dari bangsa sendiri. Iwan Simatupang, Muchtar Lubis, NH. Dini, YB. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa sastrawan yang hampir semua buku mereka berdiri tegak lurus dalam rak-rak buku saya, disamping tentu saja sastrawan lainnya seperti Hamka, Ayip Rosidi dan buku sejarah berjudul Babad Tanah Jawi serta Serat Centini.

Ada kisah menarik ketika saya sangat ingin memiliki tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Waktu itu saya masih SMA, penerbitnya adala Hasta Mitra. Dikoran dan majalah berita mingguan disebutkan bahwa buku-buku tersebut dilarang terbit, dibredel demi alasan keamanan dan keutuhan negara dari penyusupan faham komunisme. Semakin gencar diberitakan semakin besar keinginan saya untuk memiliki buku itu. Dengan penjelasan saya yang eksplisit dan singkat, Ibu saya bersedia untuk mendermakan sebagian dari uangnya kepada saya untuk membeli buku-buku itu. Masalah dana terselesaikan, sekarang tinggal bagaimana saya mendapatkan keempat buku tersebut. Akhirnya saya cari alamat Hasta Mitra melalui angka 108 dan singkat kata saya berhasil menghubungi penerbit tersebut. Disepakati saya kirimkan dananya sebesar duapuluh ribu rupiah tanpa berita apapun dalam kartu wesel pos. Tidak lama kemudian, melalui pos juga akhirnya bersatulah kami: Ibu, saya dan tetralogi Pramoedya Ananta Toer diruang perpustakaan kami dan bergantian kami membacanya sampai selesai.

Saat ini saya lebih sering membeli buku melalui situs on-line. Kemajuan teknologi telah sangat membantu dalam menyalurkan hobby saya tanpa perlu terkena macet, ongkos transportasi dan suasana hiruk pikuk ditoko buku yang lebih sering berisi cekikian ketimbang diskusi tentang buku itu sendiri.

Melalui halaman “BUKU” saya akan menulis sinopsis tanpa melakukan penilaian dari isi buku yang saya baca. Saya hanya ingin menularkan kepada mereka yang sudah berkenan membaca tulisan ini hingga selesai bahwa dengan membaca, apapun yang kita baca, kita telah hidup lebih baik dari kemarin, meski hanya satu langkah.

Sinopsis yang akan saya tulis tidak dari semua buku yang sudah saya baca (hampir dua ribu judul buku) tapi hanya dari buku-buku yang menetap dalam hati dan pikiran saya.