Selasa, 22 Juli 2008

MARI BERDEMO ?

Sejatinya setiap mereka yang bersalah pasti mendapat hukuman. Sejatinya setiap mereka yang bersalah pasti sadar atas hukuman yang akan diterimanya. Begitu juga sebaliknya. Sejatinya setiap penegak hukum harus menghukum mereka yang bersalah. Sejatinya para penegak hukum pasti tahu hukuman yang tepat bagi mereka yang bersalah. Tetapi kenapa justru akhir-akhir ini kesejatian tersebut sering lenyap entah kemana, dibawa siapa, hilang dimana, tidak ada yang tahu.

Maaf, Pak ganteng berkumis lebat saat ini sedang tidak dapat diganggu. Beliau sedang khusuk memanjatkan doa untuk berterima kasih kepada Yang Maha Rahim karena permohonannya dikabulkan. Permohonan apa? Lho, mosok sampeyan tidak tahu, beliau dinyatakan bebas murni atas seluruh tuduhan dan tuntutan yang dilontarkan oleh Jaksa kepadanya. Hah, bebas? Lho kok...?!?! Rasanya Pak ganteng berkumis lebat beberapa bulan yang lalu masih menyuruh kepada saya untuk mulai belajar menerima semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Saat itu semua data yang telah saya siapkan dan kemudian disita oleh polisi jelas menunjukkan kesalahan yang telah dilakukan oleh Pak ganteng berkumis lebat. Saya ingat sekali bahkan Pak ganteng berkumis lebat menyebutkan kutipan ayat-ayat suci yang berisi tentang kesalahan dan hukuman. Beliau nampak pasrah dan tegar. Lho kok...?!?!

Itu dulu, maklum kepepet, bukti nyata ada ditangan. Bicara pepet kepepet, hanya ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh sang kepepet, pasrah mengaku bersalah atau ngotot sengotot ngototnya tetap tidak bersalah. Pak ganteng berkumis lebat saat itu pasti kepepet dengan pilihan pertama, bahkan langsung mencuat ide orisinil dikepalanya untuk sesegera mungkin menjadi juru dakwah, mengabarkan kebenaran semata kepada khalayak ramai. Tapi itu dulu Pak.

Sekarang lain punya cerita. Kesempatan ada didepan mata, mumpung masih ada "sedikit" tabungan yang tidak terlaporkan, mumpung para hakim kurus, loyo dan nampak kurang terurus, mumpung ada kasus yang lebih besar, lebih seru dan lebih spektakuler baru saja terkuak dan yang paling penting lagi, mumpung semua pihak menjunjung tinggi azas silaturahmi dan saling memaafkan, mari kita gunakan kesempatan emas yang saling menguntungkan ini untuk bersilaturahmi yang pada akhirnya bermaaf-maafan berujung kebebasan. Semua senang, semua untung, semua nyaman.

Tunggu, cerita belum selesai sampai disini yang terhormat Pak ganteng berkumis lebat. Diluar sana ternyata masih banyak para penonton, para pembaca dan para pendengar yang tidak senang, tidak untung dan tidak nyaman atas lakon komedi konyol berjudul silaturahmi bermaaf-maafan dengan pemeran utama Pak ganteng berkumis lebat serta para hakim kurus, loyo yang memang nampak tidak mau mengurus badannya sendiri.

Sepanjang para penonton, para pembaca dan para pendengar setuju bahwa lakon komedi konyol tersebut adalah sesuatu yang gila dan kelewat batas, minimal ada sekelompok hati nurani yang masih dapat dipakai dengan baik dan benar serta tahu bahwa lakon komedi konyol tadi adalah suatu kesalahan besar. Minimal ada kebenaran tersimpan dalam nurani mereka masing-masing. Minimal.

Tetapi, nurani saja sangat tidak cukup. Nurani hanyalah sosok dewi keadilan yang tidak dapat berbuat apa-apa. Maklum sang dewi, protokoler menyatakan bahwa dia hanya diperbolehkan bersabda tanpa bertindak. Itu sebab nurani harus disandingkan dengan keberanian. Hasilnya, akan lahir sosok tindakan yang akan maju menggagalkan lakon komedi konyol berjudul silaturahmi bermaaf-maafan dengan pemeran utama Pak ganteng berkumis lebat.

Tindakan harus mulai direncanakan, kekuatan harus mulai disusun. Ingat, pepatah dulu mengatakan bersatu kita teguh becerai kita runtuh. Tapi masalah besar kini muncul. Para penonton, para pembaca dan para pendengar semua ternyata hanyalah khalayak ramai dan rakyat jelata semata. Tindakan hebat yang paling heroik dan dapat dicatat dalam sejarah hanya sebatas pada aksi demonstrasi, teriakan yel-yel protes dengan keras dan tegas, berjalan bergerombol beriring-iringan dan yang paling top, bakar ban bekas atau pada akhirnya berujung anarkis, brutal, mengerikan....

Maaf saudara, itu tidak salah (kecuali tindakan anarkis, tentunya) tapi sayang masih belum merata apalagi adil. Jangan biarkan selalu hanya khalayak ramai dan rakyat jelata saja yang bertindak dan merasa bertanggungjawab untuk menolak lakon komedi konyol yang menjijikkan itu. Sudah saatnya para pemimpin, para petinggi, para handai taulan yang terhormat dan semua kaum yang merasa jengah untuk disebut rakyat jelata ikut bertindak.

Tapi apa iya kita juga mau ikut bertindak? Bertindak? Ikut demonstrasi begitu? Berpanas-panasan sambil teriak-teriak, berjejal-jejalan dan pada akhirnya bertatapan mata dengan bapak pulisi yang marah mengejar kita sambil menghunuskan pentungannya, terkena semprotan air yang sangat kuat atau mata meleleh akibat bom air mata, seperti itu?

Aaaaaaahhhhhhhhh............yang benar, mosok saya harus ikut gehgeran seperti itu, maaf, saya hanya pegawai biasa lho (hah..? pegawai biasa, setiap hari pakai jas Ermenegildo Zegna atau sepatu hak tingi dari Bally dengan Kelly bag merek Loewe? Itu pegawai biasa?????.......), betul hanya pegawai biasa yang masih sangat memerlukan kepastian gaji atau kemulusan jalannya usaha pribadi demi menunjang kelangsungan kehidupan kami sekeluarga. Lah kalau saya ikut keramaian dan keriaan seperti di atas, itu namanya korupsi waktu, ndak baik itu untuk konduite dimata direktur, juga tidak enak dilihat mitra kerja, jangan ah, saya hanya pegawai biasa yang harus memberi contoh dan (justru ini yang terpenting) kesan yang baik dimata sang bos tercinta (cukup kesan, tidak perlu lebih, pernak-pernik didalam biar hanya saya yang tahu, maaf...).

Biarlah mereka, maaf, rakyat jelata saja yang gehgeran, berkeriaan, berkeramaian, toh mereka memang memiliki banyak waktu senggang dan juga mendapat jasa prestasi sebesar lima puluh ribu rupiah perorang per hari (lho kok lebih kecil dari biaya makan siang saya sehari ya?). Cukup toh, merekapun senang kok, masuk telepisi....

Maaf lho, bagi para penonton, para pembaca dan para pendengar yang merasa tersinggung dan tidak merasa berkelakuan dan berkepribadian seperti pak-nya dan bu-nya di atas yang hanya pegawai biasa, maaf lho dengan tulisan ini. Tapi, kalau boleh kita jujur, sekaliiiii...... ini saja, nek dipikir-pikir, coba buka mata lebar-lebar, lihat dengan titi teliti semua media cetak dan media televisi, tepat disaat berita disiarkan (ingat, berita! Bukan sinetron! Jangan salah!), ketika semua media-media itu menampilan gambar perihal demontrasi A, atau B maupun Z, kok ya, maaf sekali lagi, lebih banyak rakyat jelata, agak sedikit kumuh dan kurang sedep dipandang yang ikut kegiatan keriaan dan keramaian tersebut, betul lho.

Ada saluran televisi berlangganan dirumah? Coba putar BBC, CAN, CNBC, CNN, Al Jazeera, mari kita lihat bersama tayangan demonstrasi di Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, Vietnam dan sarupaning negara asia lainnya, bahkan di Pakistan yang tengah penuh dengan huru hara, dengan alasan apapun, kok ya rapi, pakaian bersih, tertib meski tetap penuh dengan teriakan dan maaf (lagi-lagi maaf) nampak lebih student alias lebih berpendidikan.

Apa yang salah? Siapa yang salah? Hah....???? Breaking news: sesuai dengan pantauan dan hasil pengamatan sebuah lembaga independen tentang “perilaku reaksi masyarakat menengah atas terhadap kebijakan pemerintahnya dibeberapa negara di Asia”, yang berkedudukan di India, ternyata kelas menengah atas di Indonesialah yang paling tidak memiliki keinginan untuk terjun langsung bereaksi atas kebijakan pemerintahnya meski dinilai merugikan rakyat secara umum.

Luar biasa.... akhirnya saya kembali ingat dengan sebuah iklan furniture yang dulu diperankan oleh almarhum S. Bagyo: “sudah duduk lupa berdiri....” maklum kursi empuk....

(alinea terakhir khusus untuk pengakuan dosa: apa saya berani ikut demonstrasi didepan DPR, depan Istana, atau dimanapun? Apa saya berani ya.....???? hiiii.......!!!!!)