Rabu, 20 Februari 2008

Sang Penulis

Matanya nampak serius menatap layar komputer dihadapannya, sesekali dia merentangkan tangan kesamping berusaha meregangkan otot-otot yang kaku disekitar leher dan pundaknya. Kepala juga sesekali diputar-putarnya, mungkin terasa kaku atau penat karena setiap hari berjam-jam lamanya dia selalu duduk dihadapan komputer diruang kerjanya.

Setiap hari rutinitas tersebut selalu dilakukan persis mengikuti jam kantor yang biasa dilaluinya. Dimulai pada pukul sembilan pagi dan akan diakhiri tepat pukul lima sore, saat yang sama dimana teman-teman kantornya dulu selalu mengakhiri rutinitas kerja mereka demi mendapatkan tempat yang terbaik didalam mobil jemputan. Perbedaan yang terasa hanya masalah waktu, dulu semua harus dilakukan dengan tergesa-gesa agar semuanya dapat dilakukan tepat sebelum jam kerja selesai sementara sekarang semuanya dapat dilakukan sekehendak hati, tidak ada ketergesaan, tidak ada tenggat waktu, semua ditentukannya sendiri sesuai dengan aturan baru yang kini diterapkan dalam kehidupannya.

Jendela ruang kerjanya tepat menghadap sebuah gunung yang terletak nun jauh disana memperlihatkan bayangan biru, tinggi, besar dibingkai oleh kayu jendela yang menunjukan bahwa disana ada sebuah gunung menjulang membatasi wilayah pandangnya. Sengaja dia meminta kepada arsitek yang membangun rumahnya agar mengacu kepada gaya kolonial art deco. Gaya yang menjadikan jendela yang setiap hari selalu dibukanya memiliki dua buah daun jendela, memiliki kaca kotak-kotak dan dihiasi kisi-kisi kayu yang ketiganya menunjukan bentuk rumah kuno idamannya sejak masa lalu.

Ruang kerjanya memang tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan ruang kerja rumah orang tuanya dulu. Ruang ini cukup untuk menampung rak-rak buku yang sudah dikoleksinya sejak kecil dan saat ini sudah berjumlah ribuan buah buku. Setiap dinding penuh dengan rak tersebut, hanya pintu dan jendela yang tidak tertutup oleh rak buku koleksinya. Meja kerja sengaja diletakkan tepat dibawah jendela, dengan demikian angan-angannya untuk menulis dibelakang jendela yang terbuka terwujud sudah. Persis seperti dalam foto-foto yang sering dilihatnya dimajalah-majalah terbitan luar. Gambaran akan para sastrawan yang menulis dan mencari inspirasi selama berjam-jam sambil menatap pemandangan dihadapan mereka yang terlihat secara jelas melalui jendela yang terbuka. Inilah gaya hidup, jenis pekerjaan dan sumber pencarian nafkah yang telah berpuluh tahun selalu diidam-idamkan olehnya sejak dia masih duduk dibangku sekolah dasar.

Ketika jam sudah menunjukan arah jarumnya pada angka sembilan, sudah saatnya bagi dia untuk masuk kedalam ruang kerja serta memulai rutinitasnya menulis. Tidak akan ada satupun anggota keluarga yang berani mengganggunya. Semua akan mengerjakan seluruh tugasnya masing-masing tanpa perlu mengganggu dirinya yang sedang serius didepan komputer.

Rumahnya memang tidak terlalu kecil, untuk ukuran jaman sekarang rumah itu terlihat cukup besar walaupun tidak termasuk dalam kategori rumah besar. Halamannyalah yang memang besar, sangat luas untuk hitungan meter persegi bagi rumah-rumah sekarang yang terletak dalam kompleks-kompleks perumahan yang tersebar dipinggir-pinggir kota. Karena harga tanah yang luar biasa tinggi, karena kejemuan yang semakin meningkat akibat kemacetan jalan dimana-mana, karena mimpinya akan rumah kecil berhalaman luas bak little house in the praire dan yang terpenting karena jumlah dana dalam tabungannya yang memang terbatas, akhirnya dia memutuskan untuk membeli sebidang tanah dipinggir kota, tidak didalam kompleks perumahan tetapi berada tepat ditengah lingkungan rumah rakyat yang masih tradisional, sederhana tetapi tidak kumuh. Dengan arah tanah yang menghadap kegunung, sedikit-demi sedikit mimpi-mimpinya mulai terwujud.

Halaman yang luas telah dipenuhinya dengan tanaman-tanaman produktif yang semuanya dapat dikonsumsi, cara bercocok tanamnyapun telah mengikuti gaya hidup masa kini, serba organik, kembali kealam demi terciptanya kehidupan yang ramah lingkungan. Setiap hari, saat memasak tiba, bi Icih akan mengambil semua keperluan memasak hari itu langsung dari kebunnya. Tidak hanya sayur-sayuran, buah dan daun-daun bumbupun bisa langsung dipetik dari halaman rumahnya. Apalagi saat ini ayam-ayamnya sudah bertelur secara rutin dan umurnyapun sudah cukup untuk dipotong dan dijadikan opor atau ayam bakar. Dibagian paling belakang dari halaman itu seminggu sekali bi Icih akan mengambil ikan untuk dipepes atau ditim. Walaupun tidak lengkap, beberapa buah pun sudah dapat dihidangkan untuk melengkapi asupan makanannya. Cukup lengkap dan memenuhi persyaratan untuk menjadi river cottege life style didaerahnya. Satu lagi yang tidak terlupakan, dua pasang angsa sengaja dipeliharanya sebagai pengganti anjing penjaga yang sudah tidak dipeliharanya lagi sejak dia mulai menunaikan ibadah wajib yang lima waktu.

Kembali kedalam rumah, dia masih serius duduk didepan komputernya. Komputer dengan kelas high end berbentuk note book yang khusus dibelinya untuk memenuhi kebutuhan dalam hal tulis menulis. Komputer jinjing itu diletakkannya di atas meja terbuat dari kayu jati yang terlihat sangat kokoh serta sangat berat. Meja ini didapatnya dua tahun yang lalu saat dia berburu barang-barang tua disebuah toko mebel yang khusus menjual barang bekas. Karena bentuknya yang sangat kaku, besar dan berat, sang penjual sudah memajang barang tersebut ditokonya lebih dari enam tahun dan dialah yang menjadikan pemilik toko beruntung karena setelah melalui tawar menawar yang cukup lama akhirnya meja tersebut dilepas dan dikirimnya kerumah. Saat itu tidak hanya meja yang berhasil dibawanya pulang, sebuah kursi goyang yang masih dalam kondisi sempurna serta kursi malas yang samar-samar pernah dilihatnya dulu saat dia masih kecil dirumah kuno milik eyangnya puluhan tahun yang lalu, juga berhasil dibelinya. Selain dua buah kursi, dia berhasil membawa cermin oval setinggi tubuhnya. Itulah the swinging miror yang diidam-idamkan sejak dia masih dibangku kuliah dulu saat menonton film “Saijah dan Adinda”. Kursi yang didudukinya saat ini, kursi meja kerjanya tidak didapatkan dari toko itu tapi dia berhasil membawa pulang kursi tersebut dari sebuah acara bazaar amal yang diadakan oleh sebuah perkumpulan sosial yang menjual barang-barang bekas serta menggunakan dana yang terkumpul untuk mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak tidak mampu yang berada dipinggir sungai besar dikotanya.

Impiannya semakin lengkap terwujud. Halaman luas yang dipenuhi oleh tanaman, gaya hidup kembali kealam, furnitur rumah bergaya tempo dulu, pemandangan indah melalui jendela ruang kerjanya dan seperangkat komputer jinjing telah menjadi modal utama untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang penulis.

Sesekali tatapan matanya dialihkan dari layar komputer kearah depan, memandang gunung serta rumah-rumah penduduk disekitarnya. Saat itu semua orang yang berjalan didepan rumahnya tahu bahwa dia sedang berpikir, mencari inspirasi, merangkai kata dan menyusun gambar dari kisah yang akan ditulisnya. Menulis memang tidaklah mudah bagi yang tidak biasa tetapi menjadi amat mudah bagi yang biasa melakukannya. Dia nampaknya masuk dalam kelompok yang terakhir, biasa melakukannya karena setiap hari sejak Senin sampai Jumat rutinitas tersebut kerap dikerjakannya. Sejak dia memutuskan untuk berhenti bekerja dari kantor dan menggunakan seluruh tabungan, uang pesangon serta uang hasil penjualan rumah dikota sekitar satu setengah tahun yang lalu, hampir semua orang yang mengenalnya bahkan bi Icihpun tahu bahwa dia sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupnya sebagai seorang penulis seperti para sastrawan yang bukunya tersimpan didalam rak buku diruang kerjanya.

Menjadi penulis sastra adalah cita-cita yang sejak kecil sudah diimpikannya. Memang selama sekian puluh tahun cita-cita tersebut tidak terwujud karena dia terpaksa harus memenuhi keinginan orang tuanya menjadi seorang akuntan, persis seperti pekerjaan yang dilakukan oleh Ibu dan Bapaknya. Namun sejak keduanya meninggal dunia maka sudah saatnya dia memutuskan jalan hidupnya sendiri. Ketika keduanya masih hidup dia memang sengaja selalu memenuhi apa yang orang tuanya inginkan meskipun seringkali keinginan itu bertentangan dengan apa yang dia inginkan sendiri. Dia sangat meyakini bahwa semua itu pasti ada batasnya dan kematian kedua orang tuanya adalah batas dari sikapnya sebagai sang penurut. Kematian kedua orang tuanya adalah batas waktu dia mengakhiri hidupnya ditengah hiruk pikuk kota yang menyesakkan. Kematian kedua orang tuanya juga merupakan batas waktu baginya untuk menyelesaikan seluruh tugasnya sebagai seorang akuntan publik dan yang terakhir, kematian orang tuanya merupakan batas waktu bagi dirinya untuk berubah menjadi apa yang dia inginkan, apa yang akan dia lakukan dan mewujudkan apa yang dia impikan.
Ketika dia menjadi sendiri itulah batas akhir dari kehidupannya sebagai sang penurut dan saat ini, ketika hampir semua impiannya terwujud, awal kehidupan baru mulai dijalaninya.

Dihadapan komputer matanya kembali ditujukan, sesekali wajahnya berkerut, lama setelah menatap layar komputer terdengar ketukan halus menandakan dia mulai mengetik. Sebentar suara itu hilang dan dia mulai kembali memandang kedepan, kearah gunung. Pikirannya berputar, berusah keras untuk merangkai kata-kata yang ingin ditulis sebagai suatu kalimat. Cukup lama dia memandang gunung, menunggu sang inspirasi datang menyinggahi benaknya. Suasana yang nyaman, lingkungan yang bersih, pemandangan yang indah dan sedikit suara dari tetangga-tetangganya adalah suatu kondisi yang sempurna yang dapat menunjang keinginannya untuk menjadi penulis, untuk menjadi seorang sastrawan seperti yang dicita-citakannya.

Pukul dua belas siang, waktunya mengerjakan ibadah wajib, perintah khusus dari yang Maha Kuasa, dia segera beranjak berdiri, memasukan kursi kebawah meja kerja dan meninggalkan ruangannya. Untuk sementara ditinggalkannya komputer yang dibiarkan tetap menyala. Seperti biasa bi Icih masuk kedalam ruang tersebut untuk mengambil cangkir kopi yang sudah kosong yang selalu disajikannya setiap pagi, seperti biasa pula bi Icih melirik kedalam layar komputer sang juragan, membaca apa yang sejak tujuh bulan lalu tertulis disudut atas layar komputer tersebut, satu baris kalimat yang tidak pernah bertambah dan tidak pernah berkurang satu suku katapun: ”Panasnya terik matahari disiang hari itu benar-benar melelahkan lelaki tua disimpang jalan utama menuju pasar baru…”

Tidak ada komentar: