Kamis, 28 Februari 2008

Balthasar's Odyssey

Buku karangan Amin Maalouf, seorang pria Arab Katolik yang dilahirkan dikota Beirut pada tahun 1949. Pada tahun 1993 Amin Maalouf meraih penghargaan Prix Goncourt atas karyanya yang berjudul "Rock of Tanios".

Buku ini menurut saya sedikit ganjil, tidak seperti lazimnya ketika kita membaca karya satra lain, dimana pada penghujung cerita jelas akan diakhiri dengan kisah sedih, kisah senang atau menggantung sesuai dengan imajinasi pembaca masing-masing.

Menurut saya sebetulnya buku ini adalah masuk dalam kategori terakhir pada alinea di atas, yaitu sesuai dengan imajinasi pembaca masing-masing. Tapi yang membuat buku ini berbeda adalah sampai dengan halaman-halaman terakhir saya belum dapat menebak akhir dari cerita ini atau lebih tepatnya lagi saya masih bingung harapan apa yang saya inginkan dari akhir kisah ini.

Seorang duda berusia 40 tahunan yang berasal dari Gibelet ditahun 1666, terjebak dalam eforia kegilaan masyarakat sekitar akan berita berakhirnya dunia dan alam semesta pada tahun itu. Kegilaan ini bermula pada kisah yang tertuang dalam buku "Nama yang Keseratus".

Dalam mengejar buku yang jatuh ketangan pembeli asing, Balthasar akhirnya terbawa dalam perjalanan yang tidak direncanakan, berpindah kota, berpindah negara mengarungi keasyikan dunia percintaan yang berjalan mengalir tanpa perlawanan yang berarti.

Bagi saya kekuatan buku ini adalah penggambaran masalah psikologis yang dialami oleh Balthasar, saat dimana dia mengalami tekanan yang berulang kali, kisah cinta lama yang membawa harapan besar baginya dan rasa rindu yang disimpan rapi dalam bagian kecil hatinya atas kehadiran seorang Ibu yang diperolehnya dalam pelukan seorang Bess di London.

Sangat menyenangkan membaca buku ini. Pengalaman baru yang kita peroleh dari kancah sastra Timur Tengah.

Saran saya, bacalah dan biarkan imajinasi menyertai Anda dalam membaca buku ini.

Selasa, 26 Februari 2008

Hari Ini

Saya adalah salah satu penggemar teknologi yang termasuk dalam kategori gaptek, alias cukup tergila-gila dengan teknologi terkini tapi kurang faham untuk masalah rincinya karena agak-agak malas belajar untuk yang ribet-ribet.

Tapi setiap kali saya berselancar dalam internet, setiap kali juga rasa iri pasti muncul dalam diri saya, kok ya ternyata banyak orang yang pandai-pandai, kreatif, inovatif, menyenangkan dengan ilmunya masing-masing saling membuka diri, berbagi apa yang bisa dibagi melalui dunia maya ini.

Semakin lama saya berselancar, semakin besar keinginan saya untuk ikut-ikutan berbagi (walaupun tidak tahu sebenarnya apa yang akan saya bagi) dan membuka diri dalam bentuk tulisan yang pastinya belum tentu enak dibaca dan perlu (terimakasih untuk media yang telah menciptakan moto ini dan kini saya pergunakan tanpa permisi kepada yang bersangkutan).

Oleh karena alasan tersebut di atas, dilengkapi dengan alasan resolusi saya untuk tahun 2008 ini, saya memutuskan untuk mulai mencoba membuat apa yang sekarang sedang menjamur yang menurut hemat saya banyak mengandung sisi positif serta mudah-mudahan hal ini memang baik untuk saya - terutama dan juga untuk pembaca semua - mungkin, yaitu membuat blog pribadi dengan nama “KINI2603”.

Saya akan mulai belajar untuk berbagi dalam tulisan-tulisan saya selanjutnya, yang seperti sudah saya sampaikan di atas, saya tidak terlalu yakin bahwa tulisan saya ini akan enak dibaca dan perlu. Tapi diluar itu semua, saya belajar untuk tidak peduli apakah ini akan menjadi blog yang bagus, blog yang baik, blog yang berguna, blog yang menyenangkan atau bahkan menjelma menjadi blog yang tak tersentuh alias nihil pengunjung, yang penting saya akan menulis dan menulis dengan harapan : ada yang baca syukur, gak ada yang baca ya sudah.

Terakhir, terimakasih sudah membaca tulisan saya yang kesekian ini sampai selesai.

Rabu, 20 Februari 2008

Entah Dari Mana Asalnya

Darah yang mengalir ditangannya terasa dingin. Kulitnya terkelupas walaupun tidak terlalu lebar. Serpihan kaca, tanah dan pasir terlihat menempel pada lukanya. Perlahan dengan tangan yang satu dia mulai membersihkan luka tersebut. Tidak ada rasa sakit. Bahkan perih dan ngilupun tidak dia rasakan. Rasa sakit yang dirasakan olehnya tidak berasal dari luka yang terlihat sedikit menjijikkan melainkan justru terasa dari dalam sanubarinya, begitu sakit dan terasa sangat pedih menggores perasaannya.

Dia terlalu lelah untuk berkata-kata, bahkan untuk berteriak meminta bantuan sekalipun. Secara berturut-turut kejadian yang menimpanya telah mengunci mulutnya untuk tidak mengeluarkan kata-kata apabila dirasakan tidak perlu olehnya. Pikirannya melayang, tangannya meraba luka yang basah oleh darah, matanya nanar memandang kedepan, tidak jelas apa yang dipandangnya karena dia tidak peduli saat ini akan pandangannya, dia hanya peduli akan pemandangan yang melintas dibenaknya berkali-kali.

Ketika itu, isterinya tengah sakit, sakit tiba-tiba yang tidak pernah jelas asal-usulnya dan proses penyembuhannya. Yang dia ingat hanyalah membawa kemanapun sesuai dengan saran dari teman dan kerabat perihal orang-orang yang dirasa dan ditengarai ahli dalam menyembuhkan penyakit. Dia tidak lagi perduli apakah mereka seorang dokter, seorang dukun, seorang romo atau seorang kiyai sekalipun. Yang dia peduli adalah bagaimana agar isterinya dapat dengan segera sembuh dari seluruh penyakit yang menggerayanginya.

Biaya ? Itu termasuk yang dia tidak pedulikan. Dia memang bukan termasuk orang yang kaya raya, tetapi kalau dilihat jumlah angka yang tertera dalam buku tabungannya serta yang tertera dalam beberapa lembar bilyet depositonya, semua orang akan mahfum bahwa dia pasti akan mampu mengobati isterinya sampai titik darah penghabisan.

Begitu banyak orang yang bersedia membantu memberikan pengobatan. Begitu banyak obat dan segala pernak-pernik yang mereka nyatakan mampu untuk menyembuhkan derita isteri terkasih. Bahkan satu botol kecil ramuan seharga motor bebek buatan Jepang model terakhirpun dia beli tanpa berpikir panjang. Sampai akhirnya, sang isteri berpulang kepada yang berhak atasnya, kepada Pencipta yang memiliki kuasa penuh atas apapun yang ada didalam alam semesta ini.

Buku tabunganpun diletakkannya disudut belakang laci meja kerjanya. Hanya rupiah sebesar minimal saldo yang tercetak dalam buku tabungan tersebut. Bilyet Deposito sudah tidak lagi dia miliki karena telah dikembalikan saat dia mencairkannya beberapa waktu yang lalu.

Tapi hidup tidak berhenti. Dia masih memiliki sisa yang sangat berharga bagi hidupnya yaitu sikecil putri tunggal yang sedang mulai belajar bicara. Bahkan Sang Agung masih menyayanginya, rumah kecil dengan halaman luas diperumahan ternama masih dapat dia tinggali dengan nyaman, selain pekerjaan yang masih dia tekuni plus kendaraan kelas menengah yang masih dapat ditumpanginya setiap hari. Cukup lengkap walaupun belahan jiwa sudah lelap dibawah sana.

Hanya selang seratus hari sejak kematian isterinya, sang puteri mulai terserang batuk yang terus berkembang semakin parah hingga kembali dia mendatangi para orang pintar, sekawanan dokter, dukun, romo dan kiyai yang sangat diharapkannya dapat menyembuhkan putri semata wayang. Kembali rupiahpun bergulir, rumah kecil idaman sejak masa pacaran akhirnya lepas juga ditangan tetangganya yang sudah sejak lama ingin memperluas halaman hijau tempat anak-anaknya bermain. Tidak perlu menunggu lama, kendaraan tunggalpun lepas ditangan pemilik show room dekat kantornya. Tuhan masih sayang kepadanya, Pak Guru dibelakang rumah dulu bersedia memberikan satu kamar berukuran empat kali empat meter untuk berteduh seadanya tanpa perlu memikirkan biaya sewa. Sejak sang puteri jatuh sakit toh hari-harinya lebih banyak dilewati dikantor pada siang hari dan di rumah sakit pada malam hari.

Ketika saatnya Sang Empunya bertindak, tepat pada saat adzan subuh berkumandang, puteri manis meninggalkan senyum dibibirnya yang terus disunggingkannya sampai papan-papan menutup wajah dan tubuh mungilnya terlelap beralas tanah yang dingin.

Selesai tahlil terakhir, dia berkeyakinan bahwa sudah saatnya bertanya kepada yang pintar, kepada siapapun orangnya yang bergelar pintar tertinggi dan dapat membaca dan membantu dirinya meneruskan sisa hidupnya yang dia yakini masih akan berlangsung lama.

Wajah yang bersih, penampilan wangi disertai pakaian rapi dan tutur kata yang tenang telah mencairkan hatinya yang mulai beku menjadi hangat terselip harapan yang sangat tinggi untuk memulai hidup baru. Wejangan-wejangan panjang lebar akan hari esoknya, doa-doa mustajab yang harus dibacanya serta laku yang harus dilaksanakannya telah diterimanya dengan segenap hati, tanpa prasangka serta penuh dengan keyakinan. Biaya tidak lagi menjadi masalah, jaminan akan kehidupan yang lebih baik menjadikannya berani untuk mulai menandatangani kwitansi bukti hutang, baik kepada kerabat, teman kantor, tetangga maupun sang guru baik hati yang telah sudi meminjamka sebuah ruang untuknya berteduh.

Dia tetap menjalankan ibadah agamanya sesuai dengan agama yang dianut seperti yang tertera dalam KTP. Namun laku dari sang maha pintar jauh lebih banyak dia lakoni mengingat jaminan akan hari esok yang lebih baik, lebih jelas dan lebih eksplisit ketimbang janji Sang Maha Penolong yang sampai saat ini belum terwujudkan meski sebelumnya dia termasuk kategori golongan kaum taat.

Saat laku tengah giat dilaksanakan, berita sekencang halilintar sampai dengan cepat ditelinganya. Dia termasuk gelombang pertama yang terkena PHK tanpa pesangon akibat kantornya merugi, pailit dan akhirnya ditutup terkena dampak depresi ekonomi yang meluas. Bergelar pengangguran, dia mati-matian mencari pekerjaan baru diusianya yang menjelang empat puluh tahun. Rasa heran mulai berkecamuk dalam hatinya. Sejak dia memuja dengan taat kepada Sang Mulya, sampai dia mulai melakukan laku dari sang pintar, tidak satupun derita yang sudi meninggalkannya. Apa yang terjadi justru derita semakin kerap menyambanginya, menemani dari hari ke hari bahkan hingga sahabat tercintapun tega meninggalkannya saat terakhir kali dia jatuh tersungkur.

Semua telah hilang, dua kekasihnya, seluruh kemewahan duniawinya, bahkan teman karib yang sering berikrar akan saling setia saling membantupun hilang raib dihadapannya. Berulang kali sang pintar menjanjikan perbaikan hidup pada bulan yang kesekian. Berulang kali sang pintar menjanjikan rejeki berlimpah pada bulan yang kesekian. Berulang kali sang pintar menjanjikan bahwa awal tahun yang telah terlewati sebanyak delapan purnama akan menjadi awal baru kehidupannya yang penuh sukacita dan berulang kali juga dia menatap waktu yang terlewati tetap dengan derita disisi kiri dan kanannya.

Ditengah ketidak berdayaannya, ditengah keterpurukannya, kembali dia mulai berpikir, apakah dia harus kembali kepada Sang Maha Mulya atau terus menjalankan laku sesuai pentunjuk sang pintar. Kebimbangan mulai merasuk menyeruak ditengah rasa sakit jauh didalam sanubarinya. Dia lelah akan harapan yang telah digantungnya setinggi langit. Dia bingung atas janji manakah yang akan dia pegang, janji Sang Maha Mulyakah yang tak tersentuh atau janji sang pintar yang terasa hangat genggaman tangannya.

Keduanya berjanji kepadanya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik, keduanya berjanji kepadanya untuk memberikan kehidupan yang nyaman dan penuh kebahagiaan. Tidak hanya sampai disitu saja, berbeda dengan sang pintar, Sang Maha Mulyapun menambahkan janjinya dengan kehidupan abadi, tenang dan damai setelah kepulangannya dihari akhir nanti. Bahkan ketika sebuah motor melaju kencang dan melontarkannya dengan keras ketanah kosong yang menyebabkan luka menjijikkan ditangan kirinya, Sang Maha Mulya tetap meniupkan janji Nya melalui suara adzan dzuhur yang entah berasal dari mana.

Ketika akhirnya dia sendiri dan berdarah serta hanya kumandang suara adzan yang terdengar, entah dari mana asalnya, janji itu terasa diucapkan kembali oleh Sang Maha Mulya. Entah dari mana asalnya, akhirnya dia meyakini bahwa Sang Maha Mulya jauh lebih tinggi dari sang pintar dan entah dari mana asalnya, akhirnya dia lebih memilih kembali untuk mempercayai janji Sang Maha Mulya karena entah dari mana asalnya tiba-tiba dia merasakan perlu akan sesuatu Yang Maha Mulya untuk disimpan didalam hatinya dan menjadi sahabat setia yang tidak akan mungkin meninggalkannya sampai akhir nanti.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba dia menjadi kuat untuk kembali memulai segalanya dari awal. Entah dari mana asalnya....

Sang Penulis

Matanya nampak serius menatap layar komputer dihadapannya, sesekali dia merentangkan tangan kesamping berusaha meregangkan otot-otot yang kaku disekitar leher dan pundaknya. Kepala juga sesekali diputar-putarnya, mungkin terasa kaku atau penat karena setiap hari berjam-jam lamanya dia selalu duduk dihadapan komputer diruang kerjanya.

Setiap hari rutinitas tersebut selalu dilakukan persis mengikuti jam kantor yang biasa dilaluinya. Dimulai pada pukul sembilan pagi dan akan diakhiri tepat pukul lima sore, saat yang sama dimana teman-teman kantornya dulu selalu mengakhiri rutinitas kerja mereka demi mendapatkan tempat yang terbaik didalam mobil jemputan. Perbedaan yang terasa hanya masalah waktu, dulu semua harus dilakukan dengan tergesa-gesa agar semuanya dapat dilakukan tepat sebelum jam kerja selesai sementara sekarang semuanya dapat dilakukan sekehendak hati, tidak ada ketergesaan, tidak ada tenggat waktu, semua ditentukannya sendiri sesuai dengan aturan baru yang kini diterapkan dalam kehidupannya.

Jendela ruang kerjanya tepat menghadap sebuah gunung yang terletak nun jauh disana memperlihatkan bayangan biru, tinggi, besar dibingkai oleh kayu jendela yang menunjukan bahwa disana ada sebuah gunung menjulang membatasi wilayah pandangnya. Sengaja dia meminta kepada arsitek yang membangun rumahnya agar mengacu kepada gaya kolonial art deco. Gaya yang menjadikan jendela yang setiap hari selalu dibukanya memiliki dua buah daun jendela, memiliki kaca kotak-kotak dan dihiasi kisi-kisi kayu yang ketiganya menunjukan bentuk rumah kuno idamannya sejak masa lalu.

Ruang kerjanya memang tidak terlalu besar apabila dibandingkan dengan ruang kerja rumah orang tuanya dulu. Ruang ini cukup untuk menampung rak-rak buku yang sudah dikoleksinya sejak kecil dan saat ini sudah berjumlah ribuan buah buku. Setiap dinding penuh dengan rak tersebut, hanya pintu dan jendela yang tidak tertutup oleh rak buku koleksinya. Meja kerja sengaja diletakkan tepat dibawah jendela, dengan demikian angan-angannya untuk menulis dibelakang jendela yang terbuka terwujud sudah. Persis seperti dalam foto-foto yang sering dilihatnya dimajalah-majalah terbitan luar. Gambaran akan para sastrawan yang menulis dan mencari inspirasi selama berjam-jam sambil menatap pemandangan dihadapan mereka yang terlihat secara jelas melalui jendela yang terbuka. Inilah gaya hidup, jenis pekerjaan dan sumber pencarian nafkah yang telah berpuluh tahun selalu diidam-idamkan olehnya sejak dia masih duduk dibangku sekolah dasar.

Ketika jam sudah menunjukan arah jarumnya pada angka sembilan, sudah saatnya bagi dia untuk masuk kedalam ruang kerja serta memulai rutinitasnya menulis. Tidak akan ada satupun anggota keluarga yang berani mengganggunya. Semua akan mengerjakan seluruh tugasnya masing-masing tanpa perlu mengganggu dirinya yang sedang serius didepan komputer.

Rumahnya memang tidak terlalu kecil, untuk ukuran jaman sekarang rumah itu terlihat cukup besar walaupun tidak termasuk dalam kategori rumah besar. Halamannyalah yang memang besar, sangat luas untuk hitungan meter persegi bagi rumah-rumah sekarang yang terletak dalam kompleks-kompleks perumahan yang tersebar dipinggir-pinggir kota. Karena harga tanah yang luar biasa tinggi, karena kejemuan yang semakin meningkat akibat kemacetan jalan dimana-mana, karena mimpinya akan rumah kecil berhalaman luas bak little house in the praire dan yang terpenting karena jumlah dana dalam tabungannya yang memang terbatas, akhirnya dia memutuskan untuk membeli sebidang tanah dipinggir kota, tidak didalam kompleks perumahan tetapi berada tepat ditengah lingkungan rumah rakyat yang masih tradisional, sederhana tetapi tidak kumuh. Dengan arah tanah yang menghadap kegunung, sedikit-demi sedikit mimpi-mimpinya mulai terwujud.

Halaman yang luas telah dipenuhinya dengan tanaman-tanaman produktif yang semuanya dapat dikonsumsi, cara bercocok tanamnyapun telah mengikuti gaya hidup masa kini, serba organik, kembali kealam demi terciptanya kehidupan yang ramah lingkungan. Setiap hari, saat memasak tiba, bi Icih akan mengambil semua keperluan memasak hari itu langsung dari kebunnya. Tidak hanya sayur-sayuran, buah dan daun-daun bumbupun bisa langsung dipetik dari halaman rumahnya. Apalagi saat ini ayam-ayamnya sudah bertelur secara rutin dan umurnyapun sudah cukup untuk dipotong dan dijadikan opor atau ayam bakar. Dibagian paling belakang dari halaman itu seminggu sekali bi Icih akan mengambil ikan untuk dipepes atau ditim. Walaupun tidak lengkap, beberapa buah pun sudah dapat dihidangkan untuk melengkapi asupan makanannya. Cukup lengkap dan memenuhi persyaratan untuk menjadi river cottege life style didaerahnya. Satu lagi yang tidak terlupakan, dua pasang angsa sengaja dipeliharanya sebagai pengganti anjing penjaga yang sudah tidak dipeliharanya lagi sejak dia mulai menunaikan ibadah wajib yang lima waktu.

Kembali kedalam rumah, dia masih serius duduk didepan komputernya. Komputer dengan kelas high end berbentuk note book yang khusus dibelinya untuk memenuhi kebutuhan dalam hal tulis menulis. Komputer jinjing itu diletakkannya di atas meja terbuat dari kayu jati yang terlihat sangat kokoh serta sangat berat. Meja ini didapatnya dua tahun yang lalu saat dia berburu barang-barang tua disebuah toko mebel yang khusus menjual barang bekas. Karena bentuknya yang sangat kaku, besar dan berat, sang penjual sudah memajang barang tersebut ditokonya lebih dari enam tahun dan dialah yang menjadikan pemilik toko beruntung karena setelah melalui tawar menawar yang cukup lama akhirnya meja tersebut dilepas dan dikirimnya kerumah. Saat itu tidak hanya meja yang berhasil dibawanya pulang, sebuah kursi goyang yang masih dalam kondisi sempurna serta kursi malas yang samar-samar pernah dilihatnya dulu saat dia masih kecil dirumah kuno milik eyangnya puluhan tahun yang lalu, juga berhasil dibelinya. Selain dua buah kursi, dia berhasil membawa cermin oval setinggi tubuhnya. Itulah the swinging miror yang diidam-idamkan sejak dia masih dibangku kuliah dulu saat menonton film “Saijah dan Adinda”. Kursi yang didudukinya saat ini, kursi meja kerjanya tidak didapatkan dari toko itu tapi dia berhasil membawa pulang kursi tersebut dari sebuah acara bazaar amal yang diadakan oleh sebuah perkumpulan sosial yang menjual barang-barang bekas serta menggunakan dana yang terkumpul untuk mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak tidak mampu yang berada dipinggir sungai besar dikotanya.

Impiannya semakin lengkap terwujud. Halaman luas yang dipenuhi oleh tanaman, gaya hidup kembali kealam, furnitur rumah bergaya tempo dulu, pemandangan indah melalui jendela ruang kerjanya dan seperangkat komputer jinjing telah menjadi modal utama untuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang penulis.

Sesekali tatapan matanya dialihkan dari layar komputer kearah depan, memandang gunung serta rumah-rumah penduduk disekitarnya. Saat itu semua orang yang berjalan didepan rumahnya tahu bahwa dia sedang berpikir, mencari inspirasi, merangkai kata dan menyusun gambar dari kisah yang akan ditulisnya. Menulis memang tidaklah mudah bagi yang tidak biasa tetapi menjadi amat mudah bagi yang biasa melakukannya. Dia nampaknya masuk dalam kelompok yang terakhir, biasa melakukannya karena setiap hari sejak Senin sampai Jumat rutinitas tersebut kerap dikerjakannya. Sejak dia memutuskan untuk berhenti bekerja dari kantor dan menggunakan seluruh tabungan, uang pesangon serta uang hasil penjualan rumah dikota sekitar satu setengah tahun yang lalu, hampir semua orang yang mengenalnya bahkan bi Icihpun tahu bahwa dia sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupnya sebagai seorang penulis seperti para sastrawan yang bukunya tersimpan didalam rak buku diruang kerjanya.

Menjadi penulis sastra adalah cita-cita yang sejak kecil sudah diimpikannya. Memang selama sekian puluh tahun cita-cita tersebut tidak terwujud karena dia terpaksa harus memenuhi keinginan orang tuanya menjadi seorang akuntan, persis seperti pekerjaan yang dilakukan oleh Ibu dan Bapaknya. Namun sejak keduanya meninggal dunia maka sudah saatnya dia memutuskan jalan hidupnya sendiri. Ketika keduanya masih hidup dia memang sengaja selalu memenuhi apa yang orang tuanya inginkan meskipun seringkali keinginan itu bertentangan dengan apa yang dia inginkan sendiri. Dia sangat meyakini bahwa semua itu pasti ada batasnya dan kematian kedua orang tuanya adalah batas dari sikapnya sebagai sang penurut. Kematian kedua orang tuanya adalah batas waktu dia mengakhiri hidupnya ditengah hiruk pikuk kota yang menyesakkan. Kematian kedua orang tuanya juga merupakan batas waktu baginya untuk menyelesaikan seluruh tugasnya sebagai seorang akuntan publik dan yang terakhir, kematian orang tuanya merupakan batas waktu bagi dirinya untuk berubah menjadi apa yang dia inginkan, apa yang akan dia lakukan dan mewujudkan apa yang dia impikan.
Ketika dia menjadi sendiri itulah batas akhir dari kehidupannya sebagai sang penurut dan saat ini, ketika hampir semua impiannya terwujud, awal kehidupan baru mulai dijalaninya.

Dihadapan komputer matanya kembali ditujukan, sesekali wajahnya berkerut, lama setelah menatap layar komputer terdengar ketukan halus menandakan dia mulai mengetik. Sebentar suara itu hilang dan dia mulai kembali memandang kedepan, kearah gunung. Pikirannya berputar, berusah keras untuk merangkai kata-kata yang ingin ditulis sebagai suatu kalimat. Cukup lama dia memandang gunung, menunggu sang inspirasi datang menyinggahi benaknya. Suasana yang nyaman, lingkungan yang bersih, pemandangan yang indah dan sedikit suara dari tetangga-tetangganya adalah suatu kondisi yang sempurna yang dapat menunjang keinginannya untuk menjadi penulis, untuk menjadi seorang sastrawan seperti yang dicita-citakannya.

Pukul dua belas siang, waktunya mengerjakan ibadah wajib, perintah khusus dari yang Maha Kuasa, dia segera beranjak berdiri, memasukan kursi kebawah meja kerja dan meninggalkan ruangannya. Untuk sementara ditinggalkannya komputer yang dibiarkan tetap menyala. Seperti biasa bi Icih masuk kedalam ruang tersebut untuk mengambil cangkir kopi yang sudah kosong yang selalu disajikannya setiap pagi, seperti biasa pula bi Icih melirik kedalam layar komputer sang juragan, membaca apa yang sejak tujuh bulan lalu tertulis disudut atas layar komputer tersebut, satu baris kalimat yang tidak pernah bertambah dan tidak pernah berkurang satu suku katapun: ”Panasnya terik matahari disiang hari itu benar-benar melelahkan lelaki tua disimpang jalan utama menuju pasar baru…”

Buku dan Saya

Salah satu hobby saya adalah membaca. Sejak saya mulai bisa mengingat-ingat, dirumah kami, Ibu dan Bapak saya memiliki perpustakaan pribadi. Waktu itu sekitar akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan. Karena Bapak saya lama tinggal di Jerman dan Amerika untuk sekolah militer, maka buku-buku dalam perpustakaan kecil itu lebih banyak berbahasa Jerman dan Inggris. Pastinya saat itu saya tidak mengerti, dan sampai saat inipun saya tidak pernah membukanya (alasan utama adalah saya tidak tertarik kepada isi buku tersebut dan alasan kedua saya tidak mengerti bahasa Jerman kecuali auf wieder sehen) kecuali memandangnya karena saya sangat suka melihat koleksi buku dengan hard cover yang sudah lusuh dimakan usia.

Lain lagi dengan Ibu saya, Ibu lebih menyukai buku-buku sastra, baik yang berbahasa Inggris, Belanda maupun Indonesia. Inilah yang menularkan kepada saya sampai dengan saat ini. Saya sangat menggilai karya sastra.

Sebagai informasi, saya lulus SI dari fakultas hukum perdata dengan spesialisasi perdata international. Begitu saya lulus kuliah pada tahun sembilan puluh, saya langsung diterima disebuah bank swasta nasional berskala cukup besar. Empat belas tahun saya berkutat didunia perbankan, berkali-kali diikut sertakan dalam pelatihan baik didalam maupun diluar negeri dan jabatan terakhir sebelum bye... bye... bank lumayan cukup tinggi, tapi toch setelah saya teliti dengan seksama dan dalam tempo yang tidak singkat, ternyata perpustakaan pribadi saya tetap lebih banyak dipenuhi dengan buku sastra daripada buku perihal perbankan dan berbau ekonomi lainnya.

Buku pertama saya berjudul “Teddy Bear” hadiah dari Ibu saya ketika saat itu saya masih belum dapat membaca. Buku itu berbentuk tidak seperti buku biasa, dengan panjang kurang lebih duapuluh enam sentimeter dan lebar tigabelas setengah sentimeter, setiap halamannya hanya berisi dua buah gambar berjejer bersisian yang masing-masing dibawahnya terdapat narasi dari tiap-tiap gambar tersebut.

Sang empunya lakon adalah keluarga Teddy beruang yaitu ma beruang, pa beruang dan tentunya Teddy kecil sang beruang. Lakon lainnya yang tidak kalah penting dan selalu hadir dalam setiap ceritanya adalah sang pangeran kecil “Humpty Dumpty”, putera mahkota yang telah ditunggu kehadirannya selama berpuluh tahun oleh sang Raja dan Sang Ratu yang ketika dilahirkan dan seterusnya berbentuk telur. Genduuut.... bulat... nakal... jenaka... tapi baik hati. Humpty Dumpty bersahabat dengan Teddy siberuang kecil.

Karena saat itu saya masih belum dapat membaca, maka saya hanya mampu menenteng buku itu sambil mencari mangsa, maksudnya begitu saya melihat ada Bapak saya atau Ibu saya atau kakak-kakak saya yang sedang duduk, pasti saya akan berusaha naik kepangkuan salah satu dari mereka, dan zonder permisi apalagi mendengar kata-kata tolakan, saya akan memaksanya untuk membacakan isi dari buku kesayangan yang besampul merah dengan isi berwarna hitam putih.

Bertambah umur saya, beragam pula bacaan saya. Ivanhoe, Shangrilla, Timun Emas, David Coperfield, Uncle Tom Cabin dan banyak lagi lainnya yang saya masih ingat penerbitnya adalah Gramedia, Pustaka Jaya, Balai Pustaka dan Djambatan. Ada yang berupa komik dan ada juga yang berupa novel yang disusun sedemikian rupa untuk dibaca oleh para pemula anak-anak SD.

Sayang, waktu itu saya dan kakak saya almarhum banyak meminjamkan buku kami berdua kepada teman-teman dan lebih sayangnya lagi karena mereka hampir 95% tidak ada yang mengembalikan buku-buku kami tersebut. Walhasil koleksi itu hanya ada dalam benak saya tanpa ada ujudnya sebagai alat bukti.

Memasuki SMP kecintaan saya kepada buku berkembang, tidak melulu menyukai isi dari buku tersebut tapi juga jatuh cinta kepada ujud dari buku-buku itu. Saya mulai pelit untuk meminjamkan buku kepada siapapun. Kalaupun ada yang berhasil membujuk saya untuk meminjamkan buku, maka saya akan mencatatnya dalam buku administrasi yang saya contek bentuknya dari perpustakaan disekolah saya, SMP ST. Angela.

Saat saya SMP, SMA, Kuliah dan mulai bekerja, saya sangat tergila-gila dengan sastra Eropa Timur. Deasy Manis karya Leo Tolstoy adalah salah satu buku yang saya baca berulang-ulang. Kisah cinta romantis antara seorang gadis belia berusia belasan tahun dengan seorang lelaki tua yang usianya terpaut puluhan tahun dengan sang gadis. So romantic, so sweet, luar biasa, saya tidak pernah bisa mengerti ada yang dapat mengarang dan memiliki ide untuk bertutur akan sebuah cerita yang sangat sederhana tapi dilukiskan dengan begitu rinci dan indahnya. Salut untuk Leo Tolstoy.

Memasuki tahun sembilan puluh enam-an, saya mulai pindah kelain hati, tepatnya malah mulai mendua, sastra Eropa Timur masih disukai tapi lebih tergila-gila kepada sastra Timur Tengah dan Asia Selatan. Nama Nawal el Saadawi, Najib Hahfouz dan Jhumpa Lahiri serta pengarang lainnya dari kedua jazirah tersebut mulai menghiasi rak buku saya.

Jangan kuatir, bukan berarti saya melupakan sastra dari bangsa sendiri. Iwan Simatupang, Muchtar Lubis, NH. Dini, YB. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa sastrawan yang hampir semua buku mereka berdiri tegak lurus dalam rak-rak buku saya, disamping tentu saja sastrawan lainnya seperti Hamka, Ayip Rosidi dan buku sejarah berjudul Babad Tanah Jawi serta Serat Centini.

Ada kisah menarik ketika saya sangat ingin memiliki tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Waktu itu saya masih SMA, penerbitnya adala Hasta Mitra. Dikoran dan majalah berita mingguan disebutkan bahwa buku-buku tersebut dilarang terbit, dibredel demi alasan keamanan dan keutuhan negara dari penyusupan faham komunisme. Semakin gencar diberitakan semakin besar keinginan saya untuk memiliki buku itu. Dengan penjelasan saya yang eksplisit dan singkat, Ibu saya bersedia untuk mendermakan sebagian dari uangnya kepada saya untuk membeli buku-buku itu. Masalah dana terselesaikan, sekarang tinggal bagaimana saya mendapatkan keempat buku tersebut. Akhirnya saya cari alamat Hasta Mitra melalui angka 108 dan singkat kata saya berhasil menghubungi penerbit tersebut. Disepakati saya kirimkan dananya sebesar duapuluh ribu rupiah tanpa berita apapun dalam kartu wesel pos. Tidak lama kemudian, melalui pos juga akhirnya bersatulah kami: Ibu, saya dan tetralogi Pramoedya Ananta Toer diruang perpustakaan kami dan bergantian kami membacanya sampai selesai.

Saat ini saya lebih sering membeli buku melalui situs on-line. Kemajuan teknologi telah sangat membantu dalam menyalurkan hobby saya tanpa perlu terkena macet, ongkos transportasi dan suasana hiruk pikuk ditoko buku yang lebih sering berisi cekikian ketimbang diskusi tentang buku itu sendiri.

Melalui halaman “BUKU” saya akan menulis sinopsis tanpa melakukan penilaian dari isi buku yang saya baca. Saya hanya ingin menularkan kepada mereka yang sudah berkenan membaca tulisan ini hingga selesai bahwa dengan membaca, apapun yang kita baca, kita telah hidup lebih baik dari kemarin, meski hanya satu langkah.

Sinopsis yang akan saya tulis tidak dari semua buku yang sudah saya baca (hampir dua ribu judul buku) tapi hanya dari buku-buku yang menetap dalam hati dan pikiran saya.






Selasa, 19 Februari 2008

Kamu dan Aku

"Sam, siapa yang terbunuh?" teriak Ande kencang dari kejauhan.
"Sepertinya Habs karena tadi dia yang meminta ijin kepadaku untuk masuk terlebih dahulu", Sam berusaha menjawab pertanyaan Ande dengan suara datar meski dia begitu resah dan kalut sesaat mengetahui terjadi pembunuhan didalam ruang itu.

Ande menarik nafas sesaat dan kembali berputar-putar diluar ruangan, berusaha untuk menenangkan dirinya seperti yang sudah dia lakukan sejak beberapa jam yang lalu. Ande selalu melakukan hal itu apabila dia dan teman-teman lainnya sepakat untuk melakukan penyerangan. Kembali kepalanya ditengadahkan dan matanya ditujukan kedalam ruangan melalui jendela yang sengaja dibuka lebar oleh pemilik rumah. Ruangan tersebut penuh sesak, banyak sekali orang berada didalam ruang tersebut, semuanya masih berpakaian rapi, bau harum tercium dari tubuh para tamu yang sengaja kembali menyemprotkan wewangian karena mereka semua sadar bahwa acara yang diadakan setelah jam kantor selesai mengharuskan mereka untuk merapikan diri kembali setelah seharian penuh berkutat dengan pekerjaan masing-masing.

Beberapa terlihat menghisap rokoknya dalam-dalam, menikmati setiap hisapan asap yang segera memenuhi ruang dalam paru-paru mereka. Setiap hisapan memiliki arti sendiri bagi setiap orangnya. Ida tahu persis bahwa ini adalah hisapan dari batang rokok ke tujuh yang sudah dia nyalakan sejak pagi tadi. Asap rokok yang dihisapnya sedikit banyak telah memberikan rasa nyaman atas rasa ketidak nyamanan yang tengah dia rasakan didalam hatinya. Kegalauan ini sudah dia rasakan sejak seminggu yang lalu ketika dia salah mengirim pesan singkat yang seharusnya dia kirim kepada Mard, kekasihnya selama tujuh bulan terakhir, yang justru terkirim kepada Tar istri Mard. Sampai saat ini memang belum ada reaksi keras dari Tar tetapi dari permintaan Mard dia tahu bahwa sesuatu telah terjadi karena Mard telah meminta Ida untuk tidak menghubunginya selama satu bulan ini.


Tidak seperti yang dirasakan oleh Paf, hisapan rokok yang dilakukannya secara perlahan-lahan justru merupakan bentuk dari rasa gembira yang tengah dinikmatinya sejak tadi siang. Karna, penyelia barunya telah menunjuk dia sebagai kepala proyek pembangunan pasar berlantai lima yang akan dimulai beberapa minggu lagi. Paf berhasil menggantikan Bob yang saat ini terpaksa beristirahat dirumah sejak serangan jantung yang dialaminya dua minggu yang lalu.


Ande mengetahui dengan pasti bahwa setiap hisapan yang dilakukan oleh para perokok diruang tersebut memiliki arti yang berlainan bagi masing-masingnya. Seperti juga saat ini bagi dirinya, dia sangat ingin sekali merokok, menikmati dalam-dalam setiap hisapan asap rokok yang dapat mengurangi ketegangannya, mengendurkan otot-ototnya yang mengencang dan menenangkan degup jantungnya yang sedari tadi berdetak sangat kencang. Tapi sayang hal ini sangat mustahil untuk dilakukan. Tidak mungkin baginya untuk merokok apalagi menghisap dalam-dalam asap rokok beserta seluruh kenikmatannya. Ande hanya dapat menatap lurus kedalam ruangan itu tanpa dapat berbuat apa-apa. Dia hanya dapat memperhatikan betapa ruang tersebut memang penuh sesak, penuh asap rokok, penuh tawa dan canda dari tetamu yang ingin menikmati malam itu, penuh dengan perdebatan sengit antar mereka yang mempermasalahkan masalah kenaikan tarif jalan tol, penuh dengan makanan yang tidak habis-habisnya meski mereka yang ada dalam ruang tersebut juga tidak henti-hentinya menghabiskan setiap makanan yang dihidangkan. Ande hanya dapat menatap kosong, sekosong perasaannya ketika mengetahui Habs tewas didalam.


Sam bergegas mendekati Ande, kali ini dia tidak sendiri, dibelakangnya tampak segerombolan menemaninya mendekati Ande. Sesaat Ande sadar, kedatangan Sam dan teman-temannya merupakan puncak dari kekesalan mereka atas perilaku orang-orang yang berada didalam ruang itu selama ini.

Aku sudah tidak dapat lagi membiarkan ini terjadi begitu saja, sudah terlalu banyak yang terbunuh didalam sana”, Sam menyampaikan pendapatnya setenang mungkin meski Ande tahu bahwa ia sangat emosi.


Apakah sudah kau pikirkan masak-masak, kita bukan lawan mereka, kita tidak sebanding dengan mereka, begitu kau dan yang lainnya masuk kedalam sana pasti akan semakin banyak korban berjatuhan”, Ande berusaha menenangkan Sam semampunya. Dia sadar bahwa dia tidak boleh terbawa emosi seperti yang tengah dirasakan oleh Sam dan teman-temannya.


Sudah lama Ande berusaha untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang juga tewas didalam ruangan itu. Dia selalu berusaha sekuat mungkin untuk menggunakan kepala dinginnya setiap kali menghadapi suasana seperti ini. Pesan terakhir yang didengarnya sesaat sebelum ayahnya meninggal adalah bahwa setiap musuh harus dihadapi satu lawan satu. Berulang kali ayahnya selalu mengatakan hal tersebut kepada seluruh anggotanya. Keberanian dan pengorbanan mutlak dimiliki ketika kita menghadapi sendiri musuh disaat musuh juga menghadapi kita sendirian. Sebaik apapun strategi yang disusun dan diterapkan oleh masing-masing pemimpin namun begitu jumlah musuh yang kita hadapi ternyata lebih banyak, kita semua harus mundur, itu bukan tandingan. Tubuh kita semua lebih kecil dibandingkan lawan disana. Meski tubuh mereka lebih besar dan tidak segesit kita, tetap saja kita lebih sering terkalahkan, tersabet, terpelanting, tertindih senjata-senjata besar yang menamatkan riwayat kita semua. Apalagi saat ini senjata musuh sudah sangat banyak dan semakin moderen. Mereka mulai menggunakan obat-obat kimia untuk melawan kita semua. Etika peperangan saat ini memang sudah sangat berubah, persenjataan keras justru sudah sangat jarang dipergunakan oleh musuh, mereka lebih senang menggunakan bahan kimia seperti yang banyak diberitakan oleh media-media masa saat ini.


Prinsip satu lawan satu sudah ditinggalkan. Meski dari pihak kita hanya satu, mereka yang saat itu tengah berkumpul didalam ruangan akan serentak bergerak, mempersenjatai masing-masing dengan alat apapun yang ada disekitar mereka, hiruk pikuk mencoba membinasakan pihak kita. Perseteruan saat ini memang sudah tidak sejantan masa lalu. Apapun dilakukan oleh pihak mereka secara bergerombol, berkelompok mengeroyok pihak kita secara tidak berimbang. Segala cara dilakukan, penggunaan bahan kimia yang berlebihan dianggapnya sebagai kemajuan teknologi yang luar biasa. Mereka lupa bahwa tanah, tumbuhan, air dan udara yang berada disekitarnya tidak dapat sepenuhnya menerima seluruh perubahan teknologi itu. Mereka lupa justru bahan kimia yang selama ini mereka pergunakan yang akan merusak semua, merusak kehidupan yang ada dan pada akhirnya akan menghilangkan kehidupan mereka sendiri.

Ande kembali terdiam, semua yang disampaikan oleh ayahnya seolah-olah baru saja kembali terdengar ditelinganya. Semuanya memang sudah berubah, sejak dulu orang-orang itu memang bukan lawan mereka, tetapi saat itu korban tidak sebanyak saat ini. Pihak lawan masih bersikap jantan, melawan pihaknya satu lawan satu dengan persenjataan yang cukup besar untuk dapat mereka lihat dan mereka hindari. Tapi saat ini, hanya dengan sekali semburan bahan kimia dan tewaslah teman-teman tersayang dari pihaknya.


Bagaimana, apakah kau setuju?” Sam mendesaknya kembali tanpa memberi kesempatan kepada Ande untuk menjawab pertanyaannya “Maafkan aku Ande, tapi ini sudah keterlaluan, Habs adalah andalan kita, lagi pula teman-teman sudah mulai kelaparan, kita harus segera bertindak. Saat ini aku terpaksa tidak dapat menghormatimu sebagai pemimpin kami. Aku dan teman-teman harus maju memasuki ruang itu. Kami akan menyebar sehingga mereka tidak akan sadar akan kehadiran kami disana. Tunggulah kau disini, biar kami yang bertindak. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan ku, tolong sampaikan kepada yang lain, perjuangan jangan pernah dihentikan, hanya inilah satu-satunya tempat dan sumber makanan kita”.

Seketika Sam dan teman-teman meninggalkan Ande sendiri, mereka maju dengan kencang dan menyebar ketika sampai didepan pintu masuk. Dengan posisi yang sama Ande hanya dapat melihat sedih, dia tahu itulah saat terakhir dia dapat melihat Sam. Matanya yang mulai buram mengaburkan pandangannya untuk secara jernih melihat apa yang terjadi didalam. Lama berdiri ditempat yang sama, sadar bahwa Sam dan yang lainnya tidak akan mungkin kembali akhirnya secara perlahan dan sembunyi-sembunyi dia berusaha mendekati ruang tersebut. Tidak ada keinginannya untuk membalaskan dendam mereka, tidak ada keinginannya untuk mendapatkan makanan bagi perutnya yang kosong sejak kemarin. Hanya satu yang sangat dia inginkan saat itu, mencari dan melihat jasad Habs, sahabatnya yang paling setia selama ini, sahabat yang memberinya saat berlebih dan tidak meninggalkannya saat dia jatuh. Sahabat yang dengan setia menemaninya, tidak meninggalkannya sendiri ketika semua termasuk Sam mencaci dan meninggalkannya saat dia melakukan suatu kesalahan lama sebelum kejadian malam ini.


Disisirnya seluruh jendela kaca satu persatu, harapannya tipis untuk dapat menemukan jasad Habs, semua tampak bersih, licin tidak ada tanda-tanda apapun. Orang-orang didalam tetap sibuk dengan tingkahnya masing-masing. Perasaan kecewa dan sedih semakin menyelimuti dirinya tapi tidak menghentikannya untuk mencari Habs. Perlahan dia perhatikan setiap jengkal kaca jendela dengan teliti dan ketika Ande sampai pada jendela terakhir diujung ruang yang bersebelahan dengan dinding pembatas .… noda hitam yang nampak dari jauh olehnya melekat pada dinding kaca akhirnya terlihat dengan jelas, itulah jasad Habs, menempel mengenaskan berlumuran darah.


Kita memang bukan lawan mereka, keluh Ande dalam hati, kita bukan lawan yang setara, kita diciptakan berlainan untuk hidup berdampingan dan saling melengkapi, seharusnya kita tidak bermusuhan, tidak saling membunuh karena skenario Nya lah kita diciptakan untuk hidup bersama. Kita memang lain, karena kamu adalah manusia dan aku adalah nyamuk….

Rabu, 13 Februari 2008

Hari Ini 1

Dari jam 08.30 pagi tadi sampai dengan sekarang saya menulis jam 13.05, saya berkutat didepan komputer, berusaha untuk mengatur dan memperbaiki layout blog saya.

Ternyata, membuat blog adalah sangat tidak mudah, khususnya untuk kelompok orang yang bersedia dengan sukarela masuk dalam kategori "gaptek" dan yang membuat kepala berdenyut lebih kencang dari biasanya adalah karena semua orang dikantor saya tidak tertarik untuk membuat blog, huuuuu...... hik... hik... hik.... Betul-betul kerja sendiri gak ada tempat untuk bertanya, hik....


Tadi sudah coba tanya sana-sini lewat blog yang sudah dulu ada, tapi belum ada jawaban, hik... aduh... sebel betul... mata melotot gak karu-karuan, kepala nyut-yutan, blog gak bagus-bagus, kasian deh gue...

Tapi, "pantang menyerah sebelum bagus" mendekati "pantang pulang sebelum padam" nya bapak-bapak pemadam kebakaran. Gak bakal nyerah sebelum blog ini berbentuk persis seperti yang ada dipikiran saya.

Mosok sih gak ada yang bantu, mosok sih gak ada artikel yang gampang dibaca, mudah dicerna, bisa dimengerti dan applicable....

Ternyata, tidak mudah membuat blog itu ya.....

Senin, 11 Februari 2008

KINI 2603

Saya dilahirkan oleh Ibu saya di Bandung pada bulan terakhir ditahun 1964. Saya anak kelima dari lima bersaudara, kakak saya yang paling besar memiliki jenis kelamin yang sama dengan saya dan ketiga kakak saya lainnya merupakan lawan jenis kami berdua. Keponakan saya berjumlah enam orang dengan kedudukan 2 – 4, yaitu dua untuk jenis kelamin perempuan dan empat untuk jenis kelamin laki-laki. Saya sudah memiliki cucu, tepatnya cucu keponakan yang berjumlah lima orang dengan kedudukan 1 – 4 pada posisi gender yang sama seperti pada susunan keponakan saya.

Bapak saya militer, tepatnya angkatan ’45 berseragam hijau bertopi baret hitam, kalau beliau masih ada saat ini berusia 80 tahun, sayang pada tahun 1982 Bapak dipanggil menghadap Panglima Besar Tertinggi dalam komando garis lurus alam semesta sehingga beliau tidak dapat ikut serta membaca tulisan saya ini. Sekedar informasi, Bapak saya itu pemikir yang tahu banyak hal (betul lho, dia itu memang betul-betul seorang pemikir yang pinter dan tidak termasuk pria dalam kategori “dia pikir dia pinter”, ini pemikir dan pinter sungguhan) dan sepanjang saya mengenal beliau sampai usia saya yang ke 17, Bapak itu apabila ada dirumah kerjanya lebih banyak membaca dan menulis dengan ditemani satu mug kopi kental, beberapa kotak rokok merek Dunhill dan Gudang Garam merah (maaf ini tidak termasuk pesan komersial) serta satu stofles (wadah kaca bertutup – belanda) besar kerupuk udang berbentuk stick. Bacaan dan tulisannya pastilah yang berkaitan dengan pekerjaannya : ipoleksosbudmil (ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan militer).

Ibu saya, nah ini dia, sang bahureksa yang dengan segala hormat saya, secara pribadi tanpa minta pendapat dari siapapun juga, saya tempatkan dalam posisi ketiga penguasa alam semesta setelah peringkat pertama yang ditempati oleh Allah SWT dan peringkat kedua yang diisi oleh Nabi Muhammad SAW. Dialah perempuan hebat dimuka bumi ini (dengan segala kekurangan dan kelebihannya) yang telah menciptakan pola dasar, membentuk, menempa dan mengilhami kehidupan saya sampai pada akhirnya tercipta sosok saya yang berbadan besar dan saat ini sedang mengetik untuk mengisi blog pribadi yang sedang Anda baca.

Ibu saya seorang perempuan yang bercita rasa tinggi (menurut saya). Tidak mau diam atau tepatnya memiliki enerji yang berlebih diusianya yang ke 74 tahun. Darah seni mengalir cukup banyak didalam tubuh beliau, walaupun tidak termasuk dalam kategori maestro, tapi Ibu pandai melukis, cukup enak dilihat walaupun belum dapat dipasang berjejer bersama dengan lukisannya Van Gogh di museum Louvre.

Bisa menjahit dengan cepat (daster tangan panjang selesai dalam waktu sehari, terhitung dimulai sejak pukul sembilan pagi, diselingi makan siang serta sembahyang dzuhur dan selesai tepat sebelum waktu Azhar, hebat kan) walaupun hasilnya belum dapat dimasukan dalam kategori haute couture.

Pintar memasak dengan hasil yang enak sekali dan selalu ditunggu-tunggu baik oleh saya yang tidak pernah bosan dengan makanannya maupun oleh teman-teman sekantor yang selalu tergila-gila dengan macaroni schotelnya (hotel bintang lima pun kalah dengan hasil buatannya, gak percaya ? kapan-kapan saya ajak makan siang dirumah), walaupun saya tidak tiap hari dapat merasakan hasil masakannya karena sesuai dengan kata-kata beliau sendiri, Ibu memang “malas memasak”.

Hobby membaca, ratusan ribu rupiah setiap bulannya Ibu membayar langganan majalah dan koran aneka rupa. Juga hobby menulis yang dilakukannya dengan menggunakan sebelas jari pada komputer dirumah yang telah saya persiapkan terlebih dahulu sisdur (sistem dan prosedur) serta juklak (petunjuk pelaksana) penggunaan komputer untuk mempermudah beliau mengoperasikan perangkat teknologi yang cukup canggih itu. Tapi sayang, sekarang Ibu sedang mogok menulis akibat ulah saya yang sok tahu, mengutak atik komputer dengan hasil semua data tulisannya hilang entah kemana, maaf ya Bunda.

Satu hal yang juga orang selalu mengaguminya adalah hobby terakhir beliau yang sangat gemar menata ulang disain dalam rumah kami serta menata ulang pohon dan tanaman dihalaman rumah yang cukup luas hampir 400 m². Sekali-kali kalau lewat rumah kami silakan mengaguminya, tidak mentereng apalagi mewah, hanya sebuah rumah tua van voor de oorlog dipinggir jalan utama yang tidak jauh dari Bandung Super Mall. Tapi bagi saya dan kakak serta keponakan (tidak ditambah cucu karena mereka semua masih sangat kecil) dan konon katanya juga bagi orang-orang yang pernah singgah dirumah kami, rumah hasil penataan Ibu saya adalah rumah yang adem, enak dibadan sejuk dihati dan selalu membuat orang susah mengangkat kakinya untuk kembali ke rumahnya masing-masing.

Jelas-kan seperti apa orang tua saya yang telah menghasilkan diri saya yang sedang mengetik tulisan ini. Hobby membaca (dari Ibu dan Bapak), menulis (dari Ibu dan Bapak), makan (jelas karena masakan Ibu enak sih), dan travelling (ya dari Ibu dan Bapak juga walaupun tidak tertuang dalam tulisan di atas) yang sampai dengan saat ini belum berani pesiar keluar kota apalagi keluar negeri sendirian kecuali untuk urusan pekerjaan.

Itulah saya yang akan selalu menulis dalam blog KINI2603 sampai akhir nanti, mudah-mudahan. Salam...