Rabu, 20 Februari 2008

Entah Dari Mana Asalnya

Darah yang mengalir ditangannya terasa dingin. Kulitnya terkelupas walaupun tidak terlalu lebar. Serpihan kaca, tanah dan pasir terlihat menempel pada lukanya. Perlahan dengan tangan yang satu dia mulai membersihkan luka tersebut. Tidak ada rasa sakit. Bahkan perih dan ngilupun tidak dia rasakan. Rasa sakit yang dirasakan olehnya tidak berasal dari luka yang terlihat sedikit menjijikkan melainkan justru terasa dari dalam sanubarinya, begitu sakit dan terasa sangat pedih menggores perasaannya.

Dia terlalu lelah untuk berkata-kata, bahkan untuk berteriak meminta bantuan sekalipun. Secara berturut-turut kejadian yang menimpanya telah mengunci mulutnya untuk tidak mengeluarkan kata-kata apabila dirasakan tidak perlu olehnya. Pikirannya melayang, tangannya meraba luka yang basah oleh darah, matanya nanar memandang kedepan, tidak jelas apa yang dipandangnya karena dia tidak peduli saat ini akan pandangannya, dia hanya peduli akan pemandangan yang melintas dibenaknya berkali-kali.

Ketika itu, isterinya tengah sakit, sakit tiba-tiba yang tidak pernah jelas asal-usulnya dan proses penyembuhannya. Yang dia ingat hanyalah membawa kemanapun sesuai dengan saran dari teman dan kerabat perihal orang-orang yang dirasa dan ditengarai ahli dalam menyembuhkan penyakit. Dia tidak lagi perduli apakah mereka seorang dokter, seorang dukun, seorang romo atau seorang kiyai sekalipun. Yang dia peduli adalah bagaimana agar isterinya dapat dengan segera sembuh dari seluruh penyakit yang menggerayanginya.

Biaya ? Itu termasuk yang dia tidak pedulikan. Dia memang bukan termasuk orang yang kaya raya, tetapi kalau dilihat jumlah angka yang tertera dalam buku tabungannya serta yang tertera dalam beberapa lembar bilyet depositonya, semua orang akan mahfum bahwa dia pasti akan mampu mengobati isterinya sampai titik darah penghabisan.

Begitu banyak orang yang bersedia membantu memberikan pengobatan. Begitu banyak obat dan segala pernak-pernik yang mereka nyatakan mampu untuk menyembuhkan derita isteri terkasih. Bahkan satu botol kecil ramuan seharga motor bebek buatan Jepang model terakhirpun dia beli tanpa berpikir panjang. Sampai akhirnya, sang isteri berpulang kepada yang berhak atasnya, kepada Pencipta yang memiliki kuasa penuh atas apapun yang ada didalam alam semesta ini.

Buku tabunganpun diletakkannya disudut belakang laci meja kerjanya. Hanya rupiah sebesar minimal saldo yang tercetak dalam buku tabungan tersebut. Bilyet Deposito sudah tidak lagi dia miliki karena telah dikembalikan saat dia mencairkannya beberapa waktu yang lalu.

Tapi hidup tidak berhenti. Dia masih memiliki sisa yang sangat berharga bagi hidupnya yaitu sikecil putri tunggal yang sedang mulai belajar bicara. Bahkan Sang Agung masih menyayanginya, rumah kecil dengan halaman luas diperumahan ternama masih dapat dia tinggali dengan nyaman, selain pekerjaan yang masih dia tekuni plus kendaraan kelas menengah yang masih dapat ditumpanginya setiap hari. Cukup lengkap walaupun belahan jiwa sudah lelap dibawah sana.

Hanya selang seratus hari sejak kematian isterinya, sang puteri mulai terserang batuk yang terus berkembang semakin parah hingga kembali dia mendatangi para orang pintar, sekawanan dokter, dukun, romo dan kiyai yang sangat diharapkannya dapat menyembuhkan putri semata wayang. Kembali rupiahpun bergulir, rumah kecil idaman sejak masa pacaran akhirnya lepas juga ditangan tetangganya yang sudah sejak lama ingin memperluas halaman hijau tempat anak-anaknya bermain. Tidak perlu menunggu lama, kendaraan tunggalpun lepas ditangan pemilik show room dekat kantornya. Tuhan masih sayang kepadanya, Pak Guru dibelakang rumah dulu bersedia memberikan satu kamar berukuran empat kali empat meter untuk berteduh seadanya tanpa perlu memikirkan biaya sewa. Sejak sang puteri jatuh sakit toh hari-harinya lebih banyak dilewati dikantor pada siang hari dan di rumah sakit pada malam hari.

Ketika saatnya Sang Empunya bertindak, tepat pada saat adzan subuh berkumandang, puteri manis meninggalkan senyum dibibirnya yang terus disunggingkannya sampai papan-papan menutup wajah dan tubuh mungilnya terlelap beralas tanah yang dingin.

Selesai tahlil terakhir, dia berkeyakinan bahwa sudah saatnya bertanya kepada yang pintar, kepada siapapun orangnya yang bergelar pintar tertinggi dan dapat membaca dan membantu dirinya meneruskan sisa hidupnya yang dia yakini masih akan berlangsung lama.

Wajah yang bersih, penampilan wangi disertai pakaian rapi dan tutur kata yang tenang telah mencairkan hatinya yang mulai beku menjadi hangat terselip harapan yang sangat tinggi untuk memulai hidup baru. Wejangan-wejangan panjang lebar akan hari esoknya, doa-doa mustajab yang harus dibacanya serta laku yang harus dilaksanakannya telah diterimanya dengan segenap hati, tanpa prasangka serta penuh dengan keyakinan. Biaya tidak lagi menjadi masalah, jaminan akan kehidupan yang lebih baik menjadikannya berani untuk mulai menandatangani kwitansi bukti hutang, baik kepada kerabat, teman kantor, tetangga maupun sang guru baik hati yang telah sudi meminjamka sebuah ruang untuknya berteduh.

Dia tetap menjalankan ibadah agamanya sesuai dengan agama yang dianut seperti yang tertera dalam KTP. Namun laku dari sang maha pintar jauh lebih banyak dia lakoni mengingat jaminan akan hari esok yang lebih baik, lebih jelas dan lebih eksplisit ketimbang janji Sang Maha Penolong yang sampai saat ini belum terwujudkan meski sebelumnya dia termasuk kategori golongan kaum taat.

Saat laku tengah giat dilaksanakan, berita sekencang halilintar sampai dengan cepat ditelinganya. Dia termasuk gelombang pertama yang terkena PHK tanpa pesangon akibat kantornya merugi, pailit dan akhirnya ditutup terkena dampak depresi ekonomi yang meluas. Bergelar pengangguran, dia mati-matian mencari pekerjaan baru diusianya yang menjelang empat puluh tahun. Rasa heran mulai berkecamuk dalam hatinya. Sejak dia memuja dengan taat kepada Sang Mulya, sampai dia mulai melakukan laku dari sang pintar, tidak satupun derita yang sudi meninggalkannya. Apa yang terjadi justru derita semakin kerap menyambanginya, menemani dari hari ke hari bahkan hingga sahabat tercintapun tega meninggalkannya saat terakhir kali dia jatuh tersungkur.

Semua telah hilang, dua kekasihnya, seluruh kemewahan duniawinya, bahkan teman karib yang sering berikrar akan saling setia saling membantupun hilang raib dihadapannya. Berulang kali sang pintar menjanjikan perbaikan hidup pada bulan yang kesekian. Berulang kali sang pintar menjanjikan rejeki berlimpah pada bulan yang kesekian. Berulang kali sang pintar menjanjikan bahwa awal tahun yang telah terlewati sebanyak delapan purnama akan menjadi awal baru kehidupannya yang penuh sukacita dan berulang kali juga dia menatap waktu yang terlewati tetap dengan derita disisi kiri dan kanannya.

Ditengah ketidak berdayaannya, ditengah keterpurukannya, kembali dia mulai berpikir, apakah dia harus kembali kepada Sang Maha Mulya atau terus menjalankan laku sesuai pentunjuk sang pintar. Kebimbangan mulai merasuk menyeruak ditengah rasa sakit jauh didalam sanubarinya. Dia lelah akan harapan yang telah digantungnya setinggi langit. Dia bingung atas janji manakah yang akan dia pegang, janji Sang Maha Mulyakah yang tak tersentuh atau janji sang pintar yang terasa hangat genggaman tangannya.

Keduanya berjanji kepadanya untuk memberikan kehidupan yang lebih baik, keduanya berjanji kepadanya untuk memberikan kehidupan yang nyaman dan penuh kebahagiaan. Tidak hanya sampai disitu saja, berbeda dengan sang pintar, Sang Maha Mulyapun menambahkan janjinya dengan kehidupan abadi, tenang dan damai setelah kepulangannya dihari akhir nanti. Bahkan ketika sebuah motor melaju kencang dan melontarkannya dengan keras ketanah kosong yang menyebabkan luka menjijikkan ditangan kirinya, Sang Maha Mulya tetap meniupkan janji Nya melalui suara adzan dzuhur yang entah berasal dari mana.

Ketika akhirnya dia sendiri dan berdarah serta hanya kumandang suara adzan yang terdengar, entah dari mana asalnya, janji itu terasa diucapkan kembali oleh Sang Maha Mulya. Entah dari mana asalnya, akhirnya dia meyakini bahwa Sang Maha Mulya jauh lebih tinggi dari sang pintar dan entah dari mana asalnya, akhirnya dia lebih memilih kembali untuk mempercayai janji Sang Maha Mulya karena entah dari mana asalnya tiba-tiba dia merasakan perlu akan sesuatu Yang Maha Mulya untuk disimpan didalam hatinya dan menjadi sahabat setia yang tidak akan mungkin meninggalkannya sampai akhir nanti.

Entah dari mana asalnya, tiba-tiba dia menjadi kuat untuk kembali memulai segalanya dari awal. Entah dari mana asalnya....

Tidak ada komentar: