Rabu, 18 Maret 2009

CEMBURU

Kali ini saya memberanikan diri untuk apa yang sampai saat ini belum saya alami yaitu bicara masalah cemburu antara isteri dan suami.

Teman saya dikantor, beberapa hari belakangan ini tampak sangat tidak seperti biasa. Dandan ala kadarnya (padahal dia termasuk kategori B, good looking, enak dilihat dan sedap dipandang, itu untuk saya yang sesama perempuan, penilaian dari lawan jenis mungkin akan lebih dari itu), pekerjaan agak terbengkalai, hampir selalu lewat tenggat waktu, bicara seperlunya kalau tidak mau dikatakan judes dan berkali-kali saya memergokinya tengah menatap kosong layar monitor, seolah-olah berpikir untuk menyelesaikan hasil analisa, tapi yang jelas itu hanyalah gaya kamuflase dia dalam melakukan kegiatan barunya, melamun.

Sebagai teman yang secara sepihak saya beranikan diri untuk menyatakan adalah sahabat sejati dalam suka dan duka, saya putuskan untuk bertanya langsung kepada yang bersangkutan, walaupun rasanya sudah cukup telat, karena kejadian ini sudah berlangsung kurang lebih tiga minggu. Saya masuk keruangannya, pintu ditutup, walaupun hakul yakin semua orang tetap dapat melihat jelas apa yang kami lakukan, maklum jaman transparansi, semua dinding terbuat dari kaca, namun puji syukur dikantor kami tidak semua dinding berkuping.

Pertanyaan singkat dan padat langsung saya lontarkan, “kenapa sih kamu” dan.... tanpa didahului dengan bunyi gledek atau samberan petir yang keras, langsunglah dia menangis sesenggukan, cukup lama dan cukup mengenaskan, meskipun masih belum bisa dimasukan dalam kategori “nangis bombay”.

Setelah menunggu cukup lama dengan kesabaran yang cukup tinggi, karena sesungguhnya saya adalah jenis mahluk hidup yang sama sekali tidak dapat melihat dan mendengar mahluk lain menangis, baik yang kecil, remaja maupun dewasa, baik manusia maupun hewan, kan sudah saya bilang tadi, ini masalah tangis-menangis diantara mahluk, jadi jangan tersinggung kalau saya masukan juga jenis mahluk hewan, akhirnya, tersebutlah sebuah cerita antara dua mahluk berbeda kelamin yang terikat dalam sebuah ikatan suci pernikahan, singkat kata, dia cemburu dengan apa yang dilakukan oleh sang suami tercinta selama ini.

Untuk mempermudah kita mencerna dan memahami perasaannya, saya coba untuk menceritakan kembali apa yang dia ceritakan kepada saya. Sebetulnya kejadian ini sudah dia alami sejak tahun-tahun pertama pernikahannya. Suatu saat, pulang dari luar kota untuk suatu tugas kantor, dia langsung merebahkan diri diatas tempat tidur, dan saat itu juga dia meraba dan menemukan adanya sehelai rambut panjang yang tertinggal dikasur mereka. Perasaannya meluap-luap karena saat itu juga dia langsung membayangkan sang suami melakukan tugas yang hanya secara sah dan dilindungi oleh agama, hanya dia yang boleh melayaninya. Tidak sampai disitu, dia juga tidak tahan melihat sang suami sering menatap mata pelayan perempuan (ketika berbelanja ditoko) atau menatap perempuan lain yang sedang sama-sama mengantri didepan ATM, belum tuntas, masih ada kebiasaan sang suami dipagi hari, dengan hanya menggunakan celana pendek dan kaus oblong, duduk diteras depan sambil membaca koran dan menghirup kopi yang dia hidangkan, saat itu dia selalu yakin sang pujaan hati tengah melakukan aksi tebar pesona pada perempuan-perempuan yang lalu lalang didepan rumah mereka.

Tetap belum selesai, perasaannya semakin terbakar ketika seorang tetangga, ibu-ibu setengah baya teman satu arisan menanyakan tugas suaminya yang sudah tiga tahun ini dipindah ke Jawa Tengah, sehingga hanya diakhir minggu mereka dapat berkumpul. Menurut dia, pertanyaan itu memojokkannya dan memberikan isyarat bahwa sang ibu setengah baya tersebut mengetahui suatu rahasia yang tengah dilakukan oleh sang suami nun di Jawa Tengah sana.

Selama dia bercerita kepada saya, diselingi dengan beberapa kali tarikan napas panjang dan sekaan sejumlah tissue dihidungnya, saya berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan kuping saya dengan baik (yang akhir-akhir ini sering tulalit) dan secara simultan juga memaksa otak saya untuk berpikir dengan lurus dan objektif dalam menanggapi seluruh kisah sedih tersebut.

Setelah seluruh masalah dia beberkan dengan rinci dan sistematis dan melihat kondisi kejiwaannya yang pasti belum pulih, walaupun nampak sedikit kelegaan dalam wajahnya karena sudah mengeluarkan seluruh isi hatinya dengan sukses, akhirnya otak saya dengan lugas menitahkan mulut untuk mengatakan, “kamu istirahat aja dulu deh, ambil cuti, tenangkan pikiran dan kalau ada apa-apa telepon aku, sedia setiap saat 24 jam sehari, tujuh hari seminggu”. Menurut saya hanya kalimat itu yang patut saya sampaikan kepada dia, karena kalau langsung saya sampaikan hasil pemikiran saya selama duduk empat jam non stop dihadapan dia, sangatlah tidak bijaksana dan akan membuat dia tidak merasa lega malah akan menambah panas bara yang ada didalam hatinya.

Sementara dia cuti, dan saya yakin minggu depan dia akan masuk dengan wajah yang lebih tenang walaupun pasti permasalahannya belum selesai, saya coba untuk menganalisa apa yang terjadi dengan diri teman saya itu, suatu pekerjaan yang harusnya bisa saya lakukan dengan baik karena toh pekerjaan saya sehari-hari adalah menganalisa perusahaan-perusahaan berbagai industri yang tengah megap-megap memerlukan bantuan dari kami.

Saya yakin karena ini juga terjadi pada diri saya (walaupun terbatas pada perasaan yang belum terikat secara sah dan legal) bahwa perasaan cemburu itu adalah perasaan yang sangat wajar dan harus ada dalam suatu hubungan antara dua manusia, bahkan menurut saya perasaan ini juga dapat timbul tidak melulu antar lawan jenis tapi juga dapat timbul antar sesama jenis dalam kategori persahabatan bukan kategori hubungan khusus antar sesama jenis.

Sepanjang cemburu tersebut dapat diselesaikan dengan baik, artinya perasaan tersebut dapat diutarakan dan dikonfrontasikan kepada dia yang kita cemburui dan ini yang paling penting, sepanjang rasa cemburu itu tidak terbukti karena tidak dibarengi dengan bukti-bukti yang nyata apalagi hanya berlandaskan bisik-bisik tetangga, jalan yang termudah adalah mengubur dalam-dalam perasaan itu dan membuangnya jauh-jauh entah kemana. Cukup perasaan itu hanya dijadikan bukti adanya perasaan lebih yang kita berikan kepada dia yang kita cemburui tanpa harus memperpanjang apalagi merusak kehidupan kita yang selama ini sudah berjalan dengan baik.

Kalaupun toh perasaan cemburu itu pada akhirnya terbukti, membicarakannya secara baik-baik secara langsung maupun dengan bantuan pihak ketiga adalah cara yang terbaik dari pada langsung melenggang laju menuju pengadilan agama ataupun pengadilan negeri setempat.

Kembali kepada kisah sedih teman saya di atas, cobalah berpikir dengan kepala dingin ditengah kesejukan udara yang diberikan oleh mesin pendingin di kamar ketika kita menemukan sehelai rambut panjang diatas tempat tidur yang nota bene adalah area yang bersifat sangat pribadi. Ijah janganlah serta merta diangkat keatas untuk dijadikan tertuduh utama karena dialah satu-satunya perempuan dirumah yang berambut panjang. Coba ingat-ingat titah kita pertama kali ketika menerima Ijah resmi sebagai pramu wisma dirumah untuk menangani semua tetek bengek urusan rumah tangga, pasti salah satunya adalah meminta Ijah untuk membereskan semua tempat tidur dipagi hari. Perlu diingat juga shampo apa yang selama ini kita berikan kepada Ijah, jangan-jangan shampo yang kita beli berdasarkan rayuan iklan ditelevisi dan dimedia cetak selama ini telah menggerogoti rambut Ijah yang lurus, hitam lagi panjang hingga rontok berhelai-helai setiap harinya akibat tak bertanggung jawabnya shanpoo produk iklan tersebut.

Begitu juga masalah tatap menatap yang ternyata sangat menyakitkan sahabat saya itu. Tatapan langsung sang suami kepada lawan jenisnya baik ketika sedang melakukan transaksi dipusat perbelanjaan maupun ketika mengantri didepan ATM hendaknya kita terima dengan arif dan bijaksana. Bukankah salah satu yang diajarkan oleh orang tua ketika kita masih kecil dulu adalah “selalu menatap mata lawan bicara, kalau matamu kemana-mana ketika diajak bicara artinya kamu tidak sopan, tidak menghargai pihak yang mengajak bicara”, ingatkan? Atau kita dapat mengutip apa yang ada dalam kitab suci kita masing-masing yang salah satunya mengatakan “lihatlah yang baik maka kamu akan menjadi baik”. Bukankah mereka yang diciptakan cantik dan ganteng adalah salah satu bentuk yang baik dan patut dilihat selama itu hanya untuk dilihat tanpa ada keinginan untuk melakukan hal dan hil lainnya.

Kembali lagi pada kisah sedih lainnya ketika sang suami duduk santai setiap pagi diteras depan. Percayalah, ketika baik perempuan maupun laki-laki dipagi hari berlalu lalang didepan rumah kita, adalah suatu perkerjaan yang sia-sia apabila kita berusaha untuk melakukan upaya tebar pesona kepada mereka semua, kenapa? Karena saat itu, saat mereka semua berjalan dengan terburu-buru untuk mendapatkan tempat duduk yang terbaik pada salah satu alat transportasi yang mereka tuju, boro-boro menanggapi tebar pesona yang ditengarai tengah dilakukan oleh belahan jiwa, tidak jatuh karena terantuk batu saja sudah bagus, yang penting jalan cepat, cepat sampai diterminal atau stanplaat, cepat naik angkot, bis atau ojek atau tumpangan lainnya, cepat sampai kantor atau kampus dan cepat mendapatkan kesejuakan udara dingin yang diberikan oleh alat pendingin dikantor atau diruang kuliah. Percayalah!

Terakhir, menanggapi bisik-bisik tetangga, semakin hati, pikiran dan mata ditutup oleh kecurigaan dan prasangka serta hanya telinga yang dibuka lebar-lebar untuk setiap berita dan pertanyaan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan maknanya, maka bara api yang ada dihati akan semakin besar menyala, pikiran akan semakin ciut pertanda tidak dapat lagi digunakan dengan baik dan mata akan menjadi semakin rabun untuk menjadikan kita tidak dapat melihat tanda-tanda kebenaran yang sesungguhnya ada.

Untuk itu, maknailah rasa cemburu dengan arif dan bijaksana. Tidak berarti bahwa belahan jiwa pastilah setia sehidup semati sepanjang masa, kewaspadaan tetap harus dijaga namun dari segalanya, bertindaklah ketika bukti nyata sudah ditangan anda.

Selamat menikmati kecemburuan dengan baik.....