Rabu, 20 Februari 2008

Buku dan Saya

Salah satu hobby saya adalah membaca. Sejak saya mulai bisa mengingat-ingat, dirumah kami, Ibu dan Bapak saya memiliki perpustakaan pribadi. Waktu itu sekitar akhir tahun enam puluhan dan awal tahun tujuh puluhan. Karena Bapak saya lama tinggal di Jerman dan Amerika untuk sekolah militer, maka buku-buku dalam perpustakaan kecil itu lebih banyak berbahasa Jerman dan Inggris. Pastinya saat itu saya tidak mengerti, dan sampai saat inipun saya tidak pernah membukanya (alasan utama adalah saya tidak tertarik kepada isi buku tersebut dan alasan kedua saya tidak mengerti bahasa Jerman kecuali auf wieder sehen) kecuali memandangnya karena saya sangat suka melihat koleksi buku dengan hard cover yang sudah lusuh dimakan usia.

Lain lagi dengan Ibu saya, Ibu lebih menyukai buku-buku sastra, baik yang berbahasa Inggris, Belanda maupun Indonesia. Inilah yang menularkan kepada saya sampai dengan saat ini. Saya sangat menggilai karya sastra.

Sebagai informasi, saya lulus SI dari fakultas hukum perdata dengan spesialisasi perdata international. Begitu saya lulus kuliah pada tahun sembilan puluh, saya langsung diterima disebuah bank swasta nasional berskala cukup besar. Empat belas tahun saya berkutat didunia perbankan, berkali-kali diikut sertakan dalam pelatihan baik didalam maupun diluar negeri dan jabatan terakhir sebelum bye... bye... bank lumayan cukup tinggi, tapi toch setelah saya teliti dengan seksama dan dalam tempo yang tidak singkat, ternyata perpustakaan pribadi saya tetap lebih banyak dipenuhi dengan buku sastra daripada buku perihal perbankan dan berbau ekonomi lainnya.

Buku pertama saya berjudul “Teddy Bear” hadiah dari Ibu saya ketika saat itu saya masih belum dapat membaca. Buku itu berbentuk tidak seperti buku biasa, dengan panjang kurang lebih duapuluh enam sentimeter dan lebar tigabelas setengah sentimeter, setiap halamannya hanya berisi dua buah gambar berjejer bersisian yang masing-masing dibawahnya terdapat narasi dari tiap-tiap gambar tersebut.

Sang empunya lakon adalah keluarga Teddy beruang yaitu ma beruang, pa beruang dan tentunya Teddy kecil sang beruang. Lakon lainnya yang tidak kalah penting dan selalu hadir dalam setiap ceritanya adalah sang pangeran kecil “Humpty Dumpty”, putera mahkota yang telah ditunggu kehadirannya selama berpuluh tahun oleh sang Raja dan Sang Ratu yang ketika dilahirkan dan seterusnya berbentuk telur. Genduuut.... bulat... nakal... jenaka... tapi baik hati. Humpty Dumpty bersahabat dengan Teddy siberuang kecil.

Karena saat itu saya masih belum dapat membaca, maka saya hanya mampu menenteng buku itu sambil mencari mangsa, maksudnya begitu saya melihat ada Bapak saya atau Ibu saya atau kakak-kakak saya yang sedang duduk, pasti saya akan berusaha naik kepangkuan salah satu dari mereka, dan zonder permisi apalagi mendengar kata-kata tolakan, saya akan memaksanya untuk membacakan isi dari buku kesayangan yang besampul merah dengan isi berwarna hitam putih.

Bertambah umur saya, beragam pula bacaan saya. Ivanhoe, Shangrilla, Timun Emas, David Coperfield, Uncle Tom Cabin dan banyak lagi lainnya yang saya masih ingat penerbitnya adalah Gramedia, Pustaka Jaya, Balai Pustaka dan Djambatan. Ada yang berupa komik dan ada juga yang berupa novel yang disusun sedemikian rupa untuk dibaca oleh para pemula anak-anak SD.

Sayang, waktu itu saya dan kakak saya almarhum banyak meminjamkan buku kami berdua kepada teman-teman dan lebih sayangnya lagi karena mereka hampir 95% tidak ada yang mengembalikan buku-buku kami tersebut. Walhasil koleksi itu hanya ada dalam benak saya tanpa ada ujudnya sebagai alat bukti.

Memasuki SMP kecintaan saya kepada buku berkembang, tidak melulu menyukai isi dari buku tersebut tapi juga jatuh cinta kepada ujud dari buku-buku itu. Saya mulai pelit untuk meminjamkan buku kepada siapapun. Kalaupun ada yang berhasil membujuk saya untuk meminjamkan buku, maka saya akan mencatatnya dalam buku administrasi yang saya contek bentuknya dari perpustakaan disekolah saya, SMP ST. Angela.

Saat saya SMP, SMA, Kuliah dan mulai bekerja, saya sangat tergila-gila dengan sastra Eropa Timur. Deasy Manis karya Leo Tolstoy adalah salah satu buku yang saya baca berulang-ulang. Kisah cinta romantis antara seorang gadis belia berusia belasan tahun dengan seorang lelaki tua yang usianya terpaut puluhan tahun dengan sang gadis. So romantic, so sweet, luar biasa, saya tidak pernah bisa mengerti ada yang dapat mengarang dan memiliki ide untuk bertutur akan sebuah cerita yang sangat sederhana tapi dilukiskan dengan begitu rinci dan indahnya. Salut untuk Leo Tolstoy.

Memasuki tahun sembilan puluh enam-an, saya mulai pindah kelain hati, tepatnya malah mulai mendua, sastra Eropa Timur masih disukai tapi lebih tergila-gila kepada sastra Timur Tengah dan Asia Selatan. Nama Nawal el Saadawi, Najib Hahfouz dan Jhumpa Lahiri serta pengarang lainnya dari kedua jazirah tersebut mulai menghiasi rak buku saya.

Jangan kuatir, bukan berarti saya melupakan sastra dari bangsa sendiri. Iwan Simatupang, Muchtar Lubis, NH. Dini, YB. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer adalah beberapa sastrawan yang hampir semua buku mereka berdiri tegak lurus dalam rak-rak buku saya, disamping tentu saja sastrawan lainnya seperti Hamka, Ayip Rosidi dan buku sejarah berjudul Babad Tanah Jawi serta Serat Centini.

Ada kisah menarik ketika saya sangat ingin memiliki tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Waktu itu saya masih SMA, penerbitnya adala Hasta Mitra. Dikoran dan majalah berita mingguan disebutkan bahwa buku-buku tersebut dilarang terbit, dibredel demi alasan keamanan dan keutuhan negara dari penyusupan faham komunisme. Semakin gencar diberitakan semakin besar keinginan saya untuk memiliki buku itu. Dengan penjelasan saya yang eksplisit dan singkat, Ibu saya bersedia untuk mendermakan sebagian dari uangnya kepada saya untuk membeli buku-buku itu. Masalah dana terselesaikan, sekarang tinggal bagaimana saya mendapatkan keempat buku tersebut. Akhirnya saya cari alamat Hasta Mitra melalui angka 108 dan singkat kata saya berhasil menghubungi penerbit tersebut. Disepakati saya kirimkan dananya sebesar duapuluh ribu rupiah tanpa berita apapun dalam kartu wesel pos. Tidak lama kemudian, melalui pos juga akhirnya bersatulah kami: Ibu, saya dan tetralogi Pramoedya Ananta Toer diruang perpustakaan kami dan bergantian kami membacanya sampai selesai.

Saat ini saya lebih sering membeli buku melalui situs on-line. Kemajuan teknologi telah sangat membantu dalam menyalurkan hobby saya tanpa perlu terkena macet, ongkos transportasi dan suasana hiruk pikuk ditoko buku yang lebih sering berisi cekikian ketimbang diskusi tentang buku itu sendiri.

Melalui halaman “BUKU” saya akan menulis sinopsis tanpa melakukan penilaian dari isi buku yang saya baca. Saya hanya ingin menularkan kepada mereka yang sudah berkenan membaca tulisan ini hingga selesai bahwa dengan membaca, apapun yang kita baca, kita telah hidup lebih baik dari kemarin, meski hanya satu langkah.

Sinopsis yang akan saya tulis tidak dari semua buku yang sudah saya baca (hampir dua ribu judul buku) tapi hanya dari buku-buku yang menetap dalam hati dan pikiran saya.






1 komentar:

ibn ghifarie mengatakan...

Salam pangwanoh ti urang Turki (Turunan Kidul) Kanangwesi Bungbulang Garut Selatan.
Sigana pami tos ti aalit disayogikeun bacaan moal siga abdi anu nembe diajar, nyerat komo deui. Asyik macan lalakol hirupna. Sukss Kang
Wilujeng wayah kieu wae.
Haturnuhun