Kamis, 16 Juli 2009

Pemilu Lagi...Masih Salah Lagi....

Keriaan pemilu sudah selesai, yang legislatif maupun yang presiden selesai sudah. Capek lihatnya, walaupun jelas tidak capek fisik karena saya bukan pendukung yang rela berdesakan, bukan panitia, bukan tim sukses apalagi sosok yang wara-wiri sibuk jualan untuk kemudian dipilih oleh rakyat semesta Indonesia dengan harapan menang tentunya, tapi jangan salah, capek hati lebih menjengkelkan.

Semula saya termasuk dalam kelompok orang-orang cuek yang tidak peduli dan “e ge pe” dengan kondisi politik nasional. Dan ternyata sifat saya itu memang didukung oleh sebuah penelitian dari suatu lembaga independen diluar sana yang mengatakan bahwa kaum menengah Indonesia adalah golongan yang paling tidak perduli dengan kondisi politik (dan ekonomi) negaranya dibandingkan dengan golongan menengah sejenis disesama negara Asia lainnya.

Bermula ketika tahun 2006 yang lalu saya mulai sering tugas keluar kota Jakarta (home based saya untuk mencari segenggam berlian) maupun keluar negeri. Keluar kota, untuk sesama kota besar apalagi kota kecil di Nusantara, saya merasa kok tidak ada perubahan yang signifikan. Kalau toh ada yang baru, bentuk, peruntukan, dan lokasi pasti ya itu-itu saja, yang baru dibangun yang lama jadi rongsokan. tidak dipertahankan agar dapat sejajar manis dengan sesuatu yang baru itu. Keluar negeri, lebih menyedihkan lagi, aduh Gusti biyung sing bahu rekso, negara lain (jangan bicara negara maju lah, malu, sesama negara berkembang saja, itupun bukan Malaysia dan Singapore, lebih malu lagi) seperti Thailand, Vietnam serta India ternyata bisa lebih gesit menyusun strategi, mengembangkan sumber daya manusianya, mengelola sumber daya alamnya, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui jualan produk dan jasa hasil negeri tercinta mereka dengan lebih baik dan benar dibandingkan dengan negara kita Negara Kesatuan Republik Indonesia yang entah kapan jayanya.

Ini bukan gosip, bukan khayalan apalagi sekedar jual kecap seperti janji para calon, ini fakta berdasarkan data yang saya lihat langsung untuk dapat dilaporkan melalui pandangan mata yang akurat karena tidak juling.

Tulisan ini sepenuhnya hasil pemikiran saya sebagai anggota masyarakat rakyat jelata, jadi, bagi yang merasa tersinggung, tolong jangan tersinggung karena boleh dong saya bersuara karena sebelum tanggal dan hari kadaluwarsa saya tiba, saya ingin melihat, setidaknya mengendus adanya perubahan yang signifikan bagi kemaslahatan rakyat sak Indonesia ini.

Saat sang biru-biru memenangkan pemilu kemarin, saya benar-benar mengharu biru, berduka, sedih dan kecewa dicampur rasa malu entah kepada siapa, sebabnya? yaaaah....ternyata bangsaku, sesama rakyat jelata yang selalu mengeluh dari tahun ke tahun hidup tambah (bukan tetap) susah karena semua mahal kok ya masih memilih yang salah.

Jangan marah ya Ibu dan Bapak kalau saya bilang salah. Lima tahun itu adalah masa yang telah dipikirkan masak-masak oleh orang-orang pandai diatas sana, cukup untuk menentukan apakah seseorang pemimpin bangsa ini layak untuk terus duduk dikursi empuknya atau..... cukup..., next..., berikutnya....orang baru silakan duduk.

Lima tahun kemarin? Harga beras semakin mahal, harga satu bungkus sayuran lodeh tetap lebih mahal dibanding tahun lalu, satu ikat kecil kangkung 2.500 rupiah, beberapa batang seledri – bawang daun dihargai 1000 rupiah, tomat satu ukuran sedang dapat ditukar dengan uang seribu rupiah. Suami satu, anak dua (sesuai program keluarga berencana), bawa uang sepuluh ribu rupiah kepasar tradisional di Kebayoran Lama, niat belanja untuk memenuhi gizi keluarga empat sehat lima sempurna.....hik....hik...hik...., apa daya uang tidak cukup, kelaparan? Jelas tidak! Makan tiga kali sehari? Masih bisa! Gizi tercukupi? Tentu tidak....!!!!!!! Mau diteruskan? Tentu tidak......!!!!!!!

Lima tahun kemarin? Jenderal TNI AD bintang empat, penuh tidak kurang tidak lebih, konon katanya pandai, juara diakademi dulu, selalu nomer satu. Head line news: “satu lagi pesawat udara milik TNI AU jatuh di....”; Breaking news: “sekian puluh prajurit TNI tewas dalam kecelakaan pesawat terbang di...”; Berita terkini: “sebuah helikopter milik TNI AD jatuh dikawasan...ketika sedang berlatih...”; berita utama dihampir seluruh media cetak: “kapal perang tentara Diraja Malaysia melenggang masuk melewati garis perbatasan, berkelok manis tak terkejar oleh kapal TNI AL....” Ini masalah harga diri, ini masalah kebanggaan bangsa, ini masalah kedaulatan negara pak jendral! Kata Ibu saya, kalau kita sudah tidak memiliki apa-apa, kalau kita sudah menjual semua harta benda kita, satu yang harus dipertahankan sampai mati, harga diri! Bagaimana mungkin alutsista kita bisa dedel dowel saat seorang jenderal penuh memimpin bangsa ini? Alasan skala
prioritas, anggaran tidak cukup, perbaikan kondisi ekonomi rakyat lebih didahulukan. Didahulukan? Apa yang berubah? Rakyat tetap susah! Mau diteruskan? Tentu tidak.......!!!!!!!!!!

Dan masih banyak lagi fakta dan data yang bisa kita peroleh tanpa harus bersusah-susah, cukup rajin membaca koran, mendengar berita ketimbang sinetron ditelevisi, rajin duduk manis didepan komputer, mencari tahu via google manis nan baik hati, sumber berita yang sahih, akurat, baik dan benar serta objektif perihal apa yang telah dikerjakan oleh sang jenderal bersama teman dan sekutunya selama lima tahun kemarin.

Ayolah teman, harga diri itu mutlak kita miliki, kebanggaan bangsa itu harus kita punyai, kedaulatan negara itu harga mati. Mosok bisanya hanya meniru saja. Katanya kreatif, gembar-gembornya harus dan kudu kreatif, lihat... warna sudah biru, lay out gedung saat deklarasi juga sudah mirip dengan yang disono, bahkan papan yel-yel pun tidak jauh berbeda, masa juga masih harus meminjam jingle-nya produsen mie untuk iklan kebanggaan, kasihan kan, pastinya mereka tidak berani menolak, mosok jendral dilawan.

Kelihatannya mewah, kelihatannya intelek, kelihatannya keren, tapi jangan lupa....hasilnya? Cap legalitas dibenak kaum muda bahwa meniru itu adalah baik, meniru itu adalah benar, meniru itu tidaklah salah, melekat mudah dibenak para muda tersebut. Pantas, sudah mulai ada band-band baru yang tanpa malu melakukan plagiat atas pemusik luar negeri. Pantas banyak kaum remaja yang bergaya luar dalam: jasmani, mulai dari pakaian dan pernak-perniknya; rohani, mulai dari pola bergaul sampai dengan pola berpikirnya, plak...blas...western minded, ck...ck...ck.... Ibu dan Bapak pasti tidak lupa dong pada wejangan orang bijak yang mengatakan bahwa mesin foto copy terbaik didunia itu mereknya adalah anak-anak..... Lha kalau bapaknya tukang niru tergila-gila dengan negeri wong londo (baca: barat) ya tidak aneh kalau gaya kita semua pun berubah seperi wong londo.... makan sehari-hari masih tiwul kok tega panggil mami pada si mbok....
Jadi benar nih....jati diri kita mulai menghilang? Ya iya, buka mata dong dan telinga, tengok kiri tengok kanan...duh gusti Allah, mau diteruskan? Tentu tidak!!!!!!!!!!!!!
Kita tidak harus seperti katak dalam tempurung, cupet tidak membuka hati, membuka telinga dan membuka pikiran. Yang baik bisa digunakan, yang jelek jangan lah, mosok hal-hal kecil saja harus meniru, bukankah kita sudah memiliki ahli pencitraan yang luar biasa, khas kita, Indonesia banget, tapi tidak norak malah oke untuk dipuja dan dibanggakan.
Kalau kita lihat sejarah bangsa ini, 350 tahun dijajah oleh Belanda dan tiga tahun Nipon-Nipon itu menjajah Indonesia...itulah cikal bakal kita menjadi bangsa yang sudahlah sulit berubah, sulit menerima perubahan, tidak mau mengambil resiko dan yang paling mengenaskan kita semua terlena, lupa bahwa kita salah, lupa bahwa kita kental dengan sifat pemalas dan penakut, anti perubahan, sangat pelupa, cepat merasa puas dan senang dibohongi....
Buktinya....yang susah ya cengengesan pasrah sumarah menerima kesulitannya dan yang telah mapan sangat tidak mau berisiko, takut akan perubahan yang akan menyeret mereka menjadi susah kembali (padahal belum tentu kan...siapa yang bisa memastikan masa depan....).

Ups...maaf...saya selalu menyebutkan kata kita, kita bangsa ini, jangan tersinggung ya, karena hal tersebut terjadi pada mayoritas rakyat Indonesia, 70% - 80% rakyat Indonesia masih bersifat seperti pada alinea di atas (mengutip sang narasumber dari sebuah stasiun televisi berita terkemuka di Jakarta).

Dengan karakter buatan penjajah masa lalu, serta kreasi ndoro-ndoro sang penguasa yang paham dan tahu benar secara pasti bagaimana menggunakan kesempatan istimewa atas “kebodohan kita semua”, maka dilakukanlah cara-cara yang penuh kemustahilan untuk mendapatkan keuntungan bagi satu golongan, satu pihak bahkan satu orang saja. Kita terus dinina bobokan, dimanja dan dibuat sedemikian rupa menjadi bangsa yang tidak berani mengambil resiko, selalu mencari aman, mencap mereka yang berani mengambil resiko sebagai kaum ceroboh yang gegabah, dan sesungguhnya....berani mengambil resiko itu bukan berarti ceroboh atau gegabah karena seorang “risk taker” pun tidak pernah mau mati dengan sia-sia.

Perlu contoh untuk kebodohan kita? Tidak lupa kan dengan iklan satu putaran yang menghebohkan itu? Masih ingat kan dengan bantuan langsung tunai yang pemberiannya dipas-paskan saat kampanye berlangsung! Dan pasti sangat terkenang dengan gaji ketiga belas yang baru saja dikucurkan sekian hari sebelum tanggal pencontrengan pilpres.

Rakyat kita (maaf) masih banyak yang bodoh, jadi semua yang tadi saya sebutkan dan dapat dikategorikan layaknya sebagai iklan sangat berpengaruh bagi mereka dalam menentukan pilihannya masing-masing. Lihat saja hasil research sebuah biro ternama pada tahun lalu, mayoritas kita bangsa Indonesia masih mengacu kepada iklan diberbagai media masa saat membeli sesuatu yang mereka perlukan. Anak-anak kitapun masih mengambil keputusan untuk bersikap dan bergaya tertentu (yang lebih banyak negatifnya daripada sisi positifnya) berdasarkan tontonan acara ditelevisi, dan pastinyalah memilih sang calon pun pada akhirnya karena iklan diberbagai media. Pemikiran sederhana dari para kaum tersebut adalah “benar juga ya kalau satu putaran itu ngirit....” bukan karena pemikiran rasional berdasarkan fakta dan data yang ada, atau lebih parah lagi “pilih yang menang saja ah...”
Ayolah Bapak/Ibu, jangan gunakan (maaf) kebodohan saudara kita untuk mendapatkan keuntungan sepihak!

Sudah tidak jamannya lagi untuk mengatakan bahwa melakukan perubahan itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Kita memang sudah harus lari, bukan hanya sekedar jalan cepat apalagi jalan santai, terlebih berlelet-lelet alias berlambat-lambat. Rapat sampai harus sepuluh kali bolak-balik untuk sebuah keputusan besar? Telitinya sih bolehlah, niat untuk menghasilkan yang terbaik tetap harus diacungi jempol, tapi lama? Tidak...tidak....saatnya kita harus mampu mengeluarkan keputusan secara “instan, tepat, baik dan benar”, pasti bisa, bukan hal yang tidak mungkin dilakukan.

Coba tengok CEO kita diperusahaan asing atau perusahaan swasta nasional, ditengah persaingan yang mulai membabi buta, ditengah tekanan para pemilik perusahaan, bermula dari terpaksa menjadi biasa, akhirnya tidak hanya mie instan yang mereka santap sesekali, tapi keputusan yang instanpun kerap diambil dengan hasil yang memuaskan, tidak merugikan para pihak, tidak bersinggungan dengan ranah hukum dan yang pasti....cepat dan tepat!

Hal ini memang harus dilakukan, tidak boleh tidak, jangan nanti, apalagi sabar...sabar...sabar... Apa tidak malu dan greget alias gemas melihat Vietnam, Thailand dan India yang terus melaju meninggalkan kita.

Contoh soal, perang Korea berakhir pada bulan Juli 1953, tepatnya 56 tahun yang lalu Korea Selatan yang sempat porak poranda oleh peperangan itu mulai berbenah diri. Hasilnya, sejak dekade sembilan puluhan dengan bangga mereka berani memamerkan pertumbuhan ekonominya yang luar biasa, bertranformasi menjadi salah satu kekuatan ekonomi global dan bangga meraih predikat sebagai salah satu dari empat macan Asia!

Indonesia? Merdeka tahun 1945, dekade sembilan puluhan? Okelah, belum siap, tahun 2009? Masih belum siap juga! Bagaimana ini....?????

Masa depan hanya Tuhan yang tahu, itu milik Nya, hak penuh yang tidak dapat diganggu gugat. Tapi kita, para pemilih, walau hanya sekedar masyarakat biasa rakyat jelata tetap dapat dan harus jeli memelototi rekam jejak sang penguasa selama lima tahun kebelakang. Cari tahu tanpa emosi, yang objektif, dengan menggunakan akal sehat, berdasarkan fakta dan data.

Secara sadar maupun tidak sadar, jangan pernah mau dibodohi karena sebagian dari kita jelas memang tidak bodoh, berakal sehat, malah pintar pandai membanggakan.

Jadi kesimpulannya? Kita yg salah! Kita kaum yg bisa membaca & menulis, kita kaum yg memiliki kesempatan untuk belajar & mencari tahu, kita kaum yg diberi keleluasaan lebih oleh Nya untuk mendapatkan informasi dengan mudah dibanding yg lain seharusnya berbuat lebih banyak untuk saudara-saudara kita yang merasa “berbangsa satu, bangsa Indonesia”, yang belum bisa membaca dan menulis, yang belum mendapatkan kesempatan untuk belajar dan mencari tahu, yang belum diberi keleluasaan oleh Nya untuk mendapatkan informasi dengan mudah.

Sebarkan kebenaran, bukakan pikiran mereka, sampaikan informasi berdasarkan data dan fakta dengan akurat, baik dan benar tanpa memihak siapapun, seobjektif mungkin.

Biasakan teliti sebelum membeli, mencari tahu sedalam-dalamnya sebelum mencontreng, jangan biasakan memberikan informasi berdasarkan "katanya - katanya dan katanya" apalagi hanya berdasarkan “cari aman” dan lebih parah lagi kalau “pilih yang menang sajalah”.
Selebihnya...? Terserah mereka, yang penting satu langkah mencerdaskan bangsa telah kita lakukan.

Ingat, mencontreng itu hanya dua detik, jangan sampai kita menanggung sesal selama lima tahun!

Mosok sih sepanjang segala abad mau terus dibodohi...