Rabu, 23 April 2008

Ahmadiyah

Saya sebenarnya sangat anti dalam menulis masalah yang bersifat SARA. Tetapi karena sudah sangat tidak tahan melihat proses kehidupan beragama di Indonesia, akhirnya saya terpaksa menulis juga demi melegakan perasaan yang selama ini mengganggu kenyamanan saya membaca, mendengar atau menonton berita diberbagai media.

Saya beragama Islam sejak kecil. Saya tidak pernah tahu sampai sekarang mahdzab apa Islam yang saya anut ini. Apakah tergolong Muhammadiyah, NU, Persis atau golongan Islam lainnya, saya tidak pernah tahu. Yang saya tahu dan saya alami serta saya yakini, karena sudah diajarkan sedari kecil, Islam yang saya anut itu adalah Islam sebagai agama yang sangat penuh toleransi. Islam saya adalah Islam yang mengharuskan kami saling menghormati, baik antar sesama Islam maupun dengan penganut agama lainnya. Ingat! Kami hanya diminta untuk saling menghormati, bukan menerima dan mempersamakan antara agama yang satu dengan agama yang lain. Kami diharuskan untuk saling berlaku sopan, menyayangi dan saling menjaga antar sesama, seperti sebelumnya, baik antar sesama Islam maupun dengan penganut agama lainnya. Yang saya pelajari dan saya yakini, Islam saya adalah Islam yang sangat moderat, dengan berpegang teguh kepada kitab yang satu, Al Quran, kepada nabi terakhir, Muhammad SAW, dan kepada hadist-hadist (yang begitu banyaknya dan belum ada satupun yang saya pelajari secara rinci, kecuali sebatas penggalan yang ada dibuku-buku referensi agama Islam yang berjejer dirak buku saya).

Salah satu hadist yang pernah saya baca dalam salah satu buku saya tersebut mengatakan bahwa “semakin mendekati hari kiamat, akan semakin banyak aliran/sekte/golongan agama Islam bermunculan. Masing-masing aliran/sekte/golongan akan mengklaim bahwa aliran/sekte/golongan-nyalah yang terbaik dan terbenar, bahkan kita sendiripun tidak akan tahu apakah kita memang termasuk dalam golongan Islam yang baik dan benar”, demikian kurang lebih kalimat yang pernah saya baca dan beruntung pula bahwa kalimat tersebut pernah saya dengar diucapkan oleh seorah penceramah agama distasiun televisi swasta terkenal, sebanyak dua kali.

Jelas dan pasti, saya bukan pendukung Ahmaddiyah, saya juga tidak setuju dengan keyakinannya yang meyakini bahwa setelah Nabi Muhammad SAW masih ada satu orang lagi yang diyakini sebagai nabi terakhir. Keyakinan saya tetap bahwa nabi saya yang terakhir, nabi terbesar dan junjungan kaum muslimin adalah tetap Nabi Muhammad SAW.

Tapi apa mau dikata, ini masalah keyakinan. Keyakinan merasuk tidak hanya dalam raga tetapi juga dalam sukma. Siapa mahluk ciptaan Tuhan yang mampu membaca isi jiwa dari sesama mahluk ciptaan Nya? Siapa yang mampu mengubah keyakinan seseorang kalau keyakinan tersebut telah merasuk, mengendap, menempel bersatu dalam sanubari sebagai keyakinan yang diyakininya? Siapa yang berhak untuk menghakimi bahwa sayalah yang terbaik dan kamu semua adalah salah, siapa?

Keyakinan saya atas Nabi Muhammad SAW adalah keyakinan yang tidak dapat diganggu gugat (Insya Allah). Begitu juga keyakinan saya bahwa setiap orang didunia ini memiliki kedudukan yang sama dan memiliki hak yang sama pula. Oleh karena itu saya sangat meyakini bahwa kita, umat muslim hanya memiliki kewajiban untuk mengingatkan, tidak menghilangkan, memberangus apalagi menumpas keyakinan orang lain.

Saya sangat yakin bahwa kita, umat muslim hanya wajib untuk mengingatkan orang-orang, kaum atau golongan yang menurut pandangan kita dan menurut keyakinan kita mereka adalah salah, hanya mengingatkan! Satu kali, kita ingatkan, dua kali, kita ingatkan, tiga kali, kita ingatkan, empat kali? Itu sepenuhnya sudah menjadi hak Allah SWT.

Keyakinan adalah masalah hati nurani, masalah yang paling dalam dan hanya Tuhan, Allah SWT yang mampu merasuki hati ciptaan Nya. Apapun yang akan dilakukan oleh mereka yang menamakan dan mencantumkan agama Islam di KTP-nya masing-masing, memfatwakan bahwa Ahmaddiyah adalah ajaran sesat, membakar semua bangunan Ahmaddiyah, melarang setiap orang berhubungan dengan pengikut Ahmaddiyah sampai memberangus semua fasilitas atau bahkan memenjarakan serta membakar hidup-hidup pengikut Ahmaddiyah, apakah ada jaminan bahwa keyakinan mereka yang telah terpupuk dalam jiwa dan sanubarinya masing-masing akan hilang? Kalau ada yang meyakini hal seperti itu, kasihan, sungguh picik pikirannya dan menurut saya mereka telah menyia-nyiakan pemberian Tuhan yang paling berharga, yaitu akal.

Kesedihan saya semakin bertambah karena ternyata tidak hanya mereka yang, menurut keyakinan saya, berpikiran picik dan telah memporak-porandakan keamanan kehidupan beragama dalam bangsa ini, tetapi ternyata para petinggi pemerintahan yang konon bahkan bergelar profesor doktor-pun ikut-ikut mengamini perbuatan para perusuh, dengan ditambah embel-embel yang menyatakan “setelah dipelajari dan dianalisa dan demi ketentraman kita dalam beragama”, pada akhirnya kebodohan itu terwujud sudah.

Entah bisikan siapa dan dari mana, mereka dengan penuh keyakinan dan kejumawaan seolah-olah telah menjadi para pemikir yang pintar (padahal sesungguhnya hanyalah dia pikir dia pintar, ups... maaf...), telah berhasil mengeluarkan fatwa dengan persetujuan dan dukungan penuh dari segenap aparat yang berinti: keyakinan dapat dihapus.

Hanya karena kehawatiran yang mendalam akan sesatnya Ahmaddiyah dan pada akhirnya akan mempengaruhi dan menyesatkan generasi muda saat ini, fatwa yang menggelikan itu diumumkan. Apakah mereka tidak berpikir, ketika kaum muda kita mengikuti ajaran sesat, ketika kaum muda kita berubah keyakinan, ketika kaum muda kita tunduk akan aturan baru made in manusia, sebenarnya kesalahan terbesar adalah pada diri kita sendiri.

Kesalahan yang terjadi bukan karena bermunculannya sekte/aliran/golongan agama baru, bukan karena timbulnya keyakinan yang tidak sekeyakinan dengan kita. Kesalahan yang terjadi sesungguhnya karena kita tidak mampu memupuk keyakinan kaum muda, kita tidak mampu membentengi mereka dengan keyakinan kita, kita tidak mampu menjadikan kaum muda kita menjadi kaum yang kuat, menjadi kaum yang handal, menjadi kaum yang mengerti, mentaati dan mengamalkan keyakinan kita selama ini.

Saya jadi ingat kepada teman saya sekian belas tahun yang lalu, Ali namanya, menurut dia, kondisi tersebut adalah kondisi dimana orang-orang lebih menggunakan “ilmu kentut” artinya lantai yang ditembak (oleh pembuangan angin kebawah) dan hidung yang kena (bau dari pembungan itu). Ya, saya yakin para petinggi kita lebih senang menggunakan ilmu kentut ketimbang ilmu introspeksi diri.

Sayang sekali, seandainya kepandaian dan ilmu yang dimiliki lebih digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, saya yakin, Indonesia akan mengungguli negara lainnya menjadi negara maju yang berkeadilan dan berkeyakinan baik.