Selasa, 09 Desember 2008

Hanya Sebuah Cerita

Hai, apa kabar, mudah-mudahan kamu tidak kaget menerima suratku ini. Sebetulnya aku tidak begitu suka melakukan hal ini, aku lebih suka langsung bicara dengan kamu, tapi karena aku tahu bahwa aku selalu takut dan kalah dengan kegalakan-mu, terpaksa aku melakukannya melalui surat ini. Aku sangat berharap kamu membacanya sampai habis, ini sangat penting untuk hubungan kita selanjutnya.

Sejak kejadian itu, dulu, aku sudah dan sangat sudah memaafkan kamu, aku juga berharap kamu memaafkan ku atas kejadian itu, mudah-mudahan. Tapi ternyata memaafkan itu tidak semudah seperti saat kita mengucapkannya. Aku selalu bersumpah kepada diriku bahwa aku sudah memafkan mu, tapi kerap rasa itu, rasa sakit yang teramat sangat selalu menghampiri diriku, hampir setiap hari – walaupun tidak setiap saat.

Akhirnya, setelah ku pertimbangkan masak-masak, aku putuskan untuk mengirim surat ini, mengeluarkan semua uneg-uneg-ku, berharap menjadikan kamu tahu apa yang sesungguhnya terjadi, dan yang paling penting dari semua itu menjadikan aku benar-benar memafkan mu. Yang aku tahu, aku pahami dan aku yakini, sesungguhnya bukanlah memaafkan seseorang apabila disamping kata maaf masih ada embel-embel lain yang menyertainya. Konon katanya, ketika kita berani mengatakan maaf artinya benar-benar memaafkan, tanpa embel-embel, tanpa keberatan, tanpa tapi, tanpa hanya dan lain sebagainya.

Sejujurnya aku menganggap apa yang kamu dulu lakukan kepada ku adalah semata-mata karena niat baik kamu terhadap aku. Aku yakin itu, karena belasan tahun kita bersama menjadikan aku sedikit banyak memahami karakter mu. Tapi sayang, niat baik itu belum tentu benar apalagi kamu tidak sepenuhnya mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.

Betul bahwa aku bermasalah dengan banyak orang, untuk suatu alasan yang sampai matipun aku tidak akan pernah sampaikan kepada siapapun. Betul bahwa kala aku melakukannya aku berbohong agar aku dapat mewujudkan itu semua, tapi jelas aku akan dan harus berbohong, karena seperti yang aku sampaikan tadi alasan aku melakukan hal itu adalah alasan pribadi yang tidak dapat diganggu gugat. Betul juga sampai akhirnya aku mengganggu kenyamanan dan ketenangan mu dengan memakai departemen mu sebagai tameng atas apa yang aku lakukan. Semuanya betul, tidak perlu dimasalahkan dan aku mengakuinya bahwa itu memang betul.

Tapi entah dari mana dan siapa yang memulai, beredarlah keseluruh lantai, merambat keseluruh Indonesia (tentunya dalam lingkup kita, tidak termasuk khalayak ramai dan rakyat jelata) berita bahwa aku melakukannya karena aku menjalankan kehidupan bebas (tepatnya lagi penganut faham sex bebas) dengan bergonta ganti pasangan muda yang kinclong dan brondong, memasuki dunia gemerlap tanpa henti setiap malam (kalau ini benar, berapa botol minyak angin yang harus aku balurkan keseluruh tubuh, kamu tahu kan aku tidak kuat kena angin malam, sesekali boleh lah, itu pun kala usia masih kepala 2 dan diawal kepala 3), pengkonsumsi setia shabu dan barang-barang lain sarupaningnya serta terpaksa cuti dua minggu demi menggugurkan jabang bayi dalam perutku ini (padahal saat itu aku sedang memuja Nya, beribadah langsung ditanah suci pilihan Nya).

Dalam hitungan hari semua berubah, berbalik, berputar berlawanan arah. Apa yang telah aku bangun dengan tidak mudah, selama puluhan tahun, sesuai pesan dari sang guru dirumah untuk selalu menjaga nama baik ku, menata karir ku yang mulai terlihat moncer, menjaga persaudaraan dan persahabatan demi kemaslahatan dan kenyamanan hidup ku selanjutnya, hilang tak berbekas, lenyap terbawa angin, entah kemana.

Kebiasaan kita untuk selalu bersama selama sekian belas tahun yang telah dihafal bahkan oleh nyamuk-nyamuk didalam gedung pun, berhenti mendadak. Semua meninggalkan ku, semua mulai menghinaku, memandang rendah diriku, menertawakanku dan pada akhirnya aku kehilangan semuanya, bukan hanya orang-orang yang aku cintai tetapi semua yang aku miliki pun turut hilang......

Semua mendadak mengenalku dan saling meyakinkan bahwa apa yang aku lakukan benar terjadi, semua itu sungguh nyata tanpa bumbu apapun sehingga mereka yang masih mau mendengarkanku pun bingung, bingung akan semua itu yang sangat berkesan nyata, berkesan bahwa aku benar melakukn semua itu, mereka bingung apa sesungguhnya yang terjadi.

Ditengah hingar bingar dan gegap gempitanya aku menjadi selebriti dadakan yang lebih rendah dari kotoran anjing sekalipun (ups....maaf, tapi memang benar itu terjadi, seseorang berkata itu langsung kepadaku), dengan inisiatif sendiri, berdasarkan niat baik yang aku yakini, kamu dan kamu menghubungi para pihak yang tersebar diseantero ujung dunia untuk menanyakan apakah aku melakukan itu kepada mu, hai kawan diujung sana.

Dan seperti yang aku katakan tadi, jadilah aku mendadak kondang keseluruh empat penjuru angin. Tanpa pengadilan yang jelas, hanya ditandai dengan pertanyaan ringan yang tidak terbukti (karena aku membawa bukti bahwa itu semua sudah selesai) dan diakhiri dengan diskusi empat mata dengan sang hakim yang justru mempertanyakan pertanyaan para pejabagat teras akan kecurigaan mereka yang menengarai bahwa aku penyuka sesama jenis, akhirnya terjuntailah aku dengan keharusan tanpa alasan, meninggalkan tempat yang sangat aku cintai.

Aku tidak dapat melawan Nya, karena itu kehendak Nya. Aku pun tidak bisa menawarnya karena hidup bukanlah ajang tawar menawar. Yang aku pertanyakan kepada mu, kenapa aku diperlakukan seperti itu. Kenapa aku harus ditinggalkan. Kenapa aku tidak diberi kesempatan untuk menata kehidupanku dihadapan mu, kenapa akhirnya aku harus kehilangan kamu.

Aku tadi sudah mengatakan kepada mu bahwa aku memang tidak dapat menjelaskan kepada mu apa yang sesungguhnya terjadi, yang aku dapat katakan hanyalah itu semua aku lakukan sama sekali bukan untuk suatu kejahatan, bukan untuk suatu keborosan, bukan untuk suatu kegiatan konsumtif, bukan untuk menunjang gaya hidup sex bebas yang tersiar merambah kemana-mana. Apa yang aku lakukan bukanlah untuk itu semua dan kegiatan lain yang berkonotasi negatif. Aku melakukan sesuatu untuk seseorang yang.... kalau aku diberi sedikit kesempatan untuk bersombong, sesungguhnya adalah bersifat mulia.

Yang harus aku akui untuk menjunjung tinggi kejujuran yang sesungguhnya aku sukai adalah aku menggunakan jalan yang salah. Itu, aku salah.

Sampai detik ini pun aku masih selalu bersedih, bertanya kenapa hubungan yang telah kita bina selama ini lenyap begitu saja. Atau mungkin selama ini aku yang bertepuk sebelah tangan, menggunakan istilah cak dahulu, apa yang aku rasakan dan aku lakukan kepada dirimu selama ini adalah ge er sepihak (pastinya, karena kalau ge er dua pihak tentunya sudah jadian dan yang terpenting jangan sampai ge er tiga pihak, karena pasti ada salah satu yang selingkuh). Sebetulnya beberapa kali tanda-tanda itu sudah kamu sampaikan kepada aku. Beberapa kali kamu sampaikan kalimat yang sangat tidak logis disampaikan kepada ku, dan aku selalu menerimanya dengan lapang dada (atau menerimanya karena aku memang bodoh?). Aku begitu .... entahlah, apakah aku mencintaimu, menyayangimu atau apapun, yang jelas aku selalu ingin bersamamu.

Kegilaanku untuk selalu ingin bersamamu itulah yang menutup mata dan telingaku, menghiraukan semua tanda-tanda yang sesungguhnya telah kerap kau sampaikan kepada ku sehingga dengan bodohnya aku selalu mendekatimu, memujamu dan menyayangimu.

Atau mungkin juga karena kamu begitu jujur, begitu suci, begitu profesional dalam menjalankan apa yang kamu yakini, sehingga saat aku terjatuh semua itu hilang dari kamusmu, dicoret dari buku kehidupanmu dan harus diisolir bagai penderita lepra dimasa kolonial dulu.

Aku tidak pernah mengatakan bahwa aku tidak bersalah, tapi yang aku yakini bahwa aku tidak serendah seperti yang kamu bayangkan, tidak senista bak penjahat kelas kakap dan tidak sekotor pencuri kampung kambuhan.

Aku terjatuh dan aku ditinggal. Ketika aku jatuh, semuanya pergi dan dengan kekuatan Nya aku dipaksa untuk bangkit sendiri, aku sakit karena jatuhku, aku terseok-seok, aku berdarah, lukaku pun belum sembuh dan karena karunia Nya juga akhirnya aku dipaksa untuk bangkit. Saat ini aku sudah dapat berjalan, meski masih terasa sakit namun aku sudah dapat berjalan jauh.

Aku tidak berharap kamu meminta maaf kepadaku, aku tidak berharap kamu merasa bersalah atas apa yang kamu lakukan kepadaku, yang aku harapkan kamu menyadari dengan sebaik-baiknya bahwa aku bukanlah kotoran dan semoga ketika suatu saat nanti ada disekitarmu yang terjatuh, kamu tidak akan meninggalkannya, aku berharap kamu dapat membantunya bangkit untuk berjalan dengan normal kembali.

Sayang, ini hanya cerita.....